32. Dibawah Hujan

4.7K 334 205
                                        

“Lo bakal diemin Laura sampai dia sadar kesalahannya, ‘kan, Ta?”

Aretta hanya melirik Amara sesaat sebelum kembali menunduk, menatap dan memainkan makanannya. Dia menyuapi makanann ke mulut meski sebenarnya tidak begitu berselera.

“Harus, Ta. Pokoknya lo harus diemin Laura. Biar dia ngerasa dikucilkan dan sendirian sampai dia sadar sama kelakuannya,” ucap Amara lagi.

“Em, iya, tuh, Ta.” sahut Katya menyetujui. “Gue masih nggak nyangka, Laura ternyata licik juga. Bilang nggak suka, nggak suka, tapi di belakang doyan juga ternyata. Tebak coba, apa aja yang udah mereka lakuin kira-kira?” lanjut Katya dengan seringai tipis sembari melirik Amara.

Amara menghela napas. “Lo nggak mau respon apa-apa, Ta?”

Aretta meletakkan alat makan yang dipegangnya nya sedikit kasar, sebelum sedetik kemudian dia menjauhkan bokongnya dari kursi.

“Gue mau ke toilet.” ucapnya, lalu beranjak dari tempatnya. Meninggalkan meja yang sekarang hanya ditempati Amara dan Katya, dan berlalu keluar dari kantin.

Bel masuk berbunyi, lalu berganti bel pergantian pelajaran sampai kemudian bel pulang, Aretta masih menganggap sosok di samping bangkunya tidak ada. Dia terus mengabaikan, bahkan saat Laura berusaha mengajaknya bicara. Sampai akhirnya, Laura ikut diam.  Tidak lagi berusaha melakukan apa-apa dan menghargai keputusan Aretta yang memusuhinya. Yang Laura jelas tahu dan dia wajar kan, sebagai bentuk kekecewaan dari kemunafikan yang dia lakukan secara diam-diam.

Laura sadar, dia memang salah. Dia pengkhianat. Keegoisannya memiliki seseorang membuatnya menjadi dalang perusak pertemanan.

Jadi, sudah seharusnya Laura ... menyesali?

“Ta ...”

Aretta tetap melanjutkan langkahnya sembari berlipat tangan di depan dada. Dia tidak perlu repot menoleh karena tahu Auriga yang akan menghampiri dan mensejajarkan langkah dengannya.

“Lo marah sama Laura?” tanya Auriga saat sudah di sampingnya.

Aretta hanya mengangkat bahunya tanpa bersuara. Sebelum beberapa detik kemudian dia menghela napas panjang.

“Dari kapan lo tahu mereka pacaran?” Aretta balik bertanya, memecah keheningan diantara mereka karena Auriga tidak lagi mengatakan apa-apa. “Zio ngasih tahu lo?” sambungnya sembari menoleh dan mendongak pada cowok di sampingnya itu.

“Nggak,” Auriga menggeleng kalem. “Zio nggak bilang apa-apa. Tapi sebagian teman, gue tentu paham sama perubahan dia yang kelakuannya khas orang yang lagi jatuh cinta.”

Ada sedikit banyak yang berubah dari Ellzio dalam beberapa waktu terakhir. Salah satu yang paling kentara, Ellzio jarang bermain ponsel kecuali untuk bermain game. Namun, cowok itu menjadi rajin mengecek ponselnya. Terlihat berbalas pesan dengan senyum-senyum tidak jelas sembari menggigit bibir. Kemudian Auriga dan teman-teman dekatnya yang lain tahu penyebab Ellzio terlihat seperti orang gila baru adalah teman perempuan sekelas mereka sendiri. Saat sadar, Ellzio sering memperhatikan Laura secara terang-terangan dan mencari kesempatan dalam kesempitan untuk menempeli pujaannya itu.

Aretta mengigit bibir.

Auriga bisa langsung peka. Lalu, kenapa dia ... baru menyadari kalau Laura juga sering memberinya kode?

Laura yang bilang Ellzio menitipkan ponselnya dan mereka keluar dari UKS dalam waktu yang nyari sama. Laura yang akhir-akhir ini jadi lebih sering diam saat Amara memamerkan perasaannya untuk Ellzio. Dan Laura yang menuntut pendapat dengan memintanya memposisikan diri seandainya dia diposisi pacar Ellzio, sementara ada Amara yang dekat dan berusaha mendapatkan cinta cowok itu.

PERFECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang