9. Menuntut Jawaban

9.2K 482 57
                                        

“Pelit banget lo, Yo. Dapet rezeki nggak bagi-bagi,” Arghi datang menimbrung diikuti Bhanu, Fatir dan Auriga. Cowok itu duduk di bangku Katya dan merebut kotak bekal Laura dari tangan Ellzio kemudian mencicipi.

“Enak,” komentarnya. “Punya siapa ini?” sambung Arghi bertanya sembari mengopernya pada Bhanu untuk berbagai.

“Laura,” sahut Amara memutar bola matanya malas. Ellzio saja sudah memusingkan, sekarang ditambah pula keempat temannya.

“Besok bawa lagi ya, Ra,” pinta Bhanu.

Yeuuu ... ngalunjak sia, Bagong,” Ellzio menendang kaki kursi yang di duduki Bhanu. “Eh, sorry, Neng, keceplosan.” sambungnya cengengesan melirik kedua cewek di dekatnya.

“Biasanya juga lo nggak minta maaf kalo abis ngomong kasar, ya, Njing.” celetuk Fatir.

“Tau tuh, kayaknya gara-gara kepalanya ke tonjok begal,” Arghi menanggapi dengan kekehan.

“Nah,” Fatir menepuk tangan. “Gue masih heran, kok bisa lo di begal di tempat yang nggak sepi-sepi banget?”

Auriga menarik kursi lain untuk Aretta duduki saat melihat cewek itu dan Katya kembali dari kantin dengan plastik jajanan. Aretta yang semula kebingungan harus duduk dimana menjadi tersenyum dan mengucapkan terimakasih di samping cowok itu.

“Kebelet berak nggak punya duit buat bayar kali begalnya.”

Ellzio menyeringai tipis melihat teman-temannya yang ribut. Dia juga heran dan ... mencurigai seseorang. Seandainya para preman itu hanya sekadar ingin uang dan barang berharga yang dia punya, mereka bisa langsung merampas semuanya saat Ellzio sudah tidak bisa memberi perlawanan. Tidak harus menghajarnya sampai kehilangan kesadaran. Bahkan kalau tidak ada yang menolong, dia mungkin sekarat.

“Untungnya, kebetulan ada Laura yang mau berbaik hati bawa lo ke rumah sakit.” ucap Amara dengan nada yang dibuat ketus.

Laura memang menceritakan kejadian itu pada teman-temannya. Dan diam-diam Amara menyesal. Seandainya malam itu dia ikut pulang bersama Laura, mungkin dia yang akan Ellzio ingat sebagai orang yang menolongnya. Yang Amara harap, hal itu bisa membuat dia dan Ellzio semakin dekat.

“Padahal mah, nggak usah ditolong, Ra. Lumayan nanti, modal sarung sama peci pulang-pulang dari rumah si Zio gue bawa berkat.” ucap Fatir yang diakhiri tawa yang diikuti teman-temannya.

Ellzio hanya mengumpat.

“Lo udah bilang makasih sama Laura belum?” tanya Amara dengan gaya nyolot.

“Udah dong, ya 'kan, Ra?” jawab Ellzio sembari memusatkan perhatian serta ...
tangan kekarnya dibawah meja merangkul pinggang Laura.

“Atau perlu gue bilang makasih lagi?” ucap cowok itu seakan tidak melakukan apa-apa. “Thanks, ya, Ra.” lanjutnya mengedipkan sebelah mata.

Laura menelan saliva setelah beberapa saat menahan napas karena terkejut, sebelum berusaha melepaskan tangan Ellzio dari pinggangnya, dengan mata mendelik tajam memberi teguran. Namun, cowok itu malah menyunggingkan seringai dan melakukan kebalikan dari yang Laura inginkan. Yang membuat Laura akhirnya menghela napas pasrah. Dia takut gelagat pemberontakannya dicurigai teman-temannya.

Thanks? Gitu doang?”

“Lah, terus harus gimana lagi?” Ellzio balik bertanya pada reaksi Amara.

“Traktir dong!”

“Nah, kalo ini gue setuju!”

Saran Amara disetujui yang lainnya.

Ellzio tidak merasa keberatan. Dia mengeluarkan dua lembar uang pecahan seratus ribu ke atas meja kemudian menyuruh Fatir ke kantin untuk dibelikan apa saja.

PERFECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang