#10 SERI

67 9 0
                                    


"These battle scars, don't look like they're fading

don't look like they're ever going away 

They ain't ever gonna change...

these battle."

(Battle Scars – Guy Sebastian)



Naraya duduk di depan meja sambil menempelkan ponsel di telinganya. Sudah dari lima menit yang lalu dia mencoba menelepon bundanya. Namun sejak tadi hanya nada dering yang terdengar.

Seraya menunggu, gadis itu melayangkan pandangannya ke depan, ke pintu rumah di seberang tempat tinggalnya. Semalam, dia tidur di sofa di balik pintu itu. Satu momen yang masih membuatnya tidak percaya hingga detik ini. Tidak hanya itu, dirinya juga membawa pulang setumpuk keingintahuan yang datang dan pergi karena mencoba dia halau setiap kali hadir. Berusaha mencoba tidak terganggu, namun nyatanya ada beberapa hal tentang Yausal yang membuatnya kembali penasaran.

Naraya memutus sambungan, lalu menelepon lagi. Tiba-tiba dari seberang, terlihat sebuah mobil hitam keluar dari garasi. Dari bayangan yang telihat melalui kaca depan, Naraya tahu siapa yang berada di balik kemudi.

"Yaaaa..." Sapa suara di telepon akhirnya.

"Kok lama bener sih, Buuun?" Mulut Naraya dibuat cemberut. "Yaya telepon 1754 kali tadi."

"Ah, Lebay!"

Gadis itu terkekeh.

"Kenapa, Ya? Sehat-sehat, kan?"

"Sehat." Naraya sedikit berbohong. Kejadian semalam membuat dirinya tidak baik-baik saja sebenarnya. Dia masih merasa takut. Namun menceritakan itu pada bundanya bukanlah keputusan yang tepat. Setidaknya dia harus menunggu waktu yang sesuai, bukan sekarang di saat kedua orang tuanya sedang berada jauh di luar pulau.

Ditambah lagi Yausal sudah tahu bahwa mereka bertetangga. Entah mengapa Naraya jadi semakin merasa tidak tidak 'aman'. Apa sebaiknya dia pindah?

"Bun, mmmh..." Naraya memberi jeda, mencoba mencari kalimat yang pas. "Rumah kita berapa lama lagi ya kira-kira, direnov-nya? Udah ada kamar yang kelar, blom?"

"Itu kamar kamu udah selesai, kok."

"Serius?" Naraya mendadak senang. Dirinya seperti melihat secercah harapan. "Aku pindah sana ya, Bun."

"Ya udah, gih. Blom ada atapnya, tapi."

"Ish." Seketika Naraya cemberut lagi.

"Bagus, kan? Beratapkan langit, berhiaskan bintang-bintang?"

"Lebay."

Kini gantian suara di seberang yang tertawa.

"Kenapa emang, Ya? Kok tumben mendadak pengen pindah? Bukannya di situ enak? Ada apa?"

Naraya terdiam.

Ada yang membobol rumah semalem.

Ada Yausal juga.

Dia lalu menghela napas.

"Kangen pulang aja, Bun. Yaya kadang-kadang kesepian di sini." Hanya itu yang bisa diucapkan oleh Naraya. Sepertinya dia masih harus bertahan di tempatnya sekarang, mau tidak mau.

Naraya memeriksa kunci pintu dan mengetesnya untuk yang kesekian kali. Tidak lupa pegangannya dia cek untuk memastikan semuanya aman. Setelah tadi pagi dia menelepon pemilik rumah dan menceritakan ada orang yang membobol pintunya semalam, seorang tukang langsung dikirim siang harinya untuk memperbaiki yang rusak. Padahal Naraya bermaksud akan membetulkan sendiri dengan memanggil orang yang juga sedang merenovasi rumahnya. Namun Om Farid, nama pemilik rumah itu, bersikeras meyakinkan Naraya kalau itu adalah tanggungjawabnya.

HATTRICK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang