#7 IT'S A SMALL WORLD

58 10 5
                                    


"Kita pernah sedekat nadi,

sampai akhirnya sejauh matahari."

(quoted)


Saat Yausal baru pindah ke Bandung dan benar-benar menempati rumah yang sekarang, hal pertama yang menarik perhatiannya adalah bangunan yang berada tepat di seberang tempat tinggalnya. Ketika dia membeli rumah di sana setahun yang lalu, rumah seberang itu belum seperti sekarang. Berbeda dari yang sebelumnya, desain rumah itu kini terlihat lebih modern, meskipun bentuk dasarnya hanya persegi panjang saja. Memiliki bangunan dua unit, hunian itu didirikan dengan posisi menyiku satu sama lain. Yang satu menghadap ke rumah Yausal, sementara yang satu lagi, yang dibangun di sebelah kanannya, menghadap ke arah lain. Dua-duanya diberi cat warna putih dengan aksen hitam pada bingkai jendela dan pintu yang terbuat dari kaca. Tidak terlalu besar, Yausal memperkirakan ukurannya mungkin cuma sekitar delapan kali tiga meter per unitnya. Di teras setiap rumah, ada sebuah bangku kayu dan meja kopi. Keduanya menghadap ke pekarangan kecil yang diberi lantai paving block. Ada tanaman di sekelilingnya dan rumah itu dibatasi dengan pagar kayu putih yang tidak terlalu tinggi. Yang menarik adalah, setiap malam rumah itu akan menyalakan lampu-lampu yang dipasang pada tali yang menyilang dari setiap bagian sudut rumahnya. Tidak hanya menambah estetika, tempat itu pun terlihat lebih eye-catchy.

Satu hari, Yausal pernah mendapati seorang perempuan keluar dari rumah di seberang, sekitar jam setengah enam kurang sedikit. Saat itu dia baru saja bangun dan membuka gorden kamarnya yang ada di lantai dua. Dari situ, pemandangan rumah dua unit itu memang bisa dibilang lumayan jelas, meskipun sebatas pada apa yang ada di halaman depan, tanaman yang diletakkan di pot-pot, dan pintu kaca dan jendela yang menghadap jalan. Sisanya Yausal tidak bisa begitu mengenali karena penglihatannya yang buram tanpa kacamata, termasuk wajah si penghuni rumah yang waktu itu tampak berpakaian olahraga dan melakukan jogging pelan menuruni jalanan kompleks.

"A, ini ada tagihan iuran RW. Dua hari lalu Pak Wahyu ke sini. Saya lupa terus mau ngasih tahu. Punten."

Pagi ini jadwal Bi Euis bekerja di rumah. Sudah dari jam setengah tujuh, perempuan berumur kepala empat itu mulai beres-beres seraya menyiapkan bahan masakan. Karena tidak ada rencana keluar, Yausal memintanya membuatkan makanan untuk siang dan malam.

"Oh iya Bi Euis, nggak apa-apa. Makasih, ya." Yausal menerima kertas tebal berwarna pink yang disodorkan Bi Euis, lalu menempelnya di pintu kulkas. Mungkin siang nanti dia akan mampir ke rumah Pa Wahyu, ketua RT yang tinggal di seberang, yang bersebelahan dengan rumah dua unit yang estetik itu. Pembayaran iuran ini sebetulnya bisa melalui transfer rekening bank. Namun Yausal lebih senang datang langsung. Dia pikir jika memang ada waktu, dirinya bisa sekalian silaturahmi.

Waktu hari ke-dua Yausal tiba di Bandung, dia sempat bertamu ke rumah Pak Wahyu untuk sekedar menyapa dan mengabarkan kepindahannya secara permanen. Pak Wahyu yang orang Jawa dan ternyata pernah beberapa kali berkunjung ke Singapura itu pun menyambut Yausal dengan hangat. Tidak hanya obrolan yang nyambung dan mengalir begitu saja, beliau pun tanpa sungkan menawarkan bantuan seandainya Yausal membutuhkan sesuatu. Apalagi lingkungan di sekitar tempat tinggal mereka memang tergolong sepi. Banyak rumah, namun tidak semua yang benar-benar ditinggali penghuninya. Ada yang pemiliknya tinggal di luar kota dan hanya datang sesekali saat akhir pekan. Ada juga yang disewakan sebagai villa dan airBnB. Sisanya rumah kosong yang sedang dijual.

Ponsel Yausal menyala saat dia akan kembali ke kamarnya untuk mandi. Sebuah telepon masuk. My Number One tertulis di layar.

"Ya, Mah?"

HATTRICK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang