"Feelings that come back are feelings that never left."
(Frank Ocean)
"Ada yang mau diceritain nggak, nih?" Tanya Nino sambil menyetir mobilnya di Jalan Dago yang penuh dengan kendaraan. "Atau ngaku sesuatu, mungkin?"
Naraya tidak langsung menjawab tapi dia tahu arah pertanyaan Nino. Selama mereka pura-pura dekat, keduanya hanya sekali melakukan kontak fisik. Itu pun ketika Nino menawarkan diri memijat telapak tangan Naraya saat gadis itu terlihat sangat tertekan oleh kasus uang perusahannya yang dibawa kabur Rio, teman bisnisnya sendiri. Selebihnya tidak ada, karena memang no-physical-contact adalah kesepakan mereka di awal. Jadi ketika Naraya tahu-tahu meraih tangan Nino dan menggamnya saat memasuki kafe, laki-laki itu sempat terperangah. Melirik gadis yang tengah berjalan di sampingnya, dia butuh penjelasan.
"Gue lihat mobil Yausal di tempat parkir tadi," ujar Naraya.
"Serius?"
Naraya mengangguk.
"Kok kamu nggak cerita? Ketemu di dalem?"
"Nggak. Gue terlalu gugup buat sekedar mengedarkan pandangan. Tapi syukur-syukur dia lihat, meskipun kecil kemungkinan."
"Maksud kamu, seandainya dia lihat, dia akan mikir kalau tadi itu adalah momen aku ngenalin kamu ke Ibu?"
"Iya, dengan konteks yang berbeda."
Nino mengerti maksud Naraya. Tadi siang itu memang pertama kalinya Naraya bertemu dengan Rosa, ibunya Nino yang pernah dia selamatkan tempo hari. Selesai dirawat di rumah sakit karena pingsan itu, Rosa dijemput oleh kakaknya Nino dan sampai sekarang tinggal bersamanya di Jakarta. Dan kemarin, kakak Nino yang seorang dosen mengabari Nino bahwa dirinya ada keperluan menghadiri sebuah seminar hari ini di Bandung dan mengajak serta Rosa untuk sekedar bertemu Nino. Berhubung cuma satu hari, Nino pun mengajak Naraya dan memakai momen itu untuk mempertemukan ibunya dengan gadis itu seperti yang sudah dia janjikan jauh-jauh hari.
Dan bagi Naraya, makan siang tadi dia manfaatkan sebaik mungkin untuk memperlihatkan kesan seolah-olah dia sedang bertemu ibu dari pacarnya.
Nino membelokan mobil ke arah jalan Ganesha. Yang terlihat dari wajahnya, seperti ada yang mengusik pikirannya.
"Setelah beberapa hari ini kita nggak ketemuan, nggak chatting, nggak teleponan, aku pikir kalian udah mulai ada kemajuan, loh."
Gue pikir juga gitu, batin Naraya. Saking intensnya, dia sampai lupa kalau Yausal ternyata memang sudah punya pasangan dan dia sedang berpura-pura punya seseorang. Entah apa sebenarnya yang menarik mereka saling mendekat kemarin kemarin itu.
"Ada sesuatukah?" Tanya Nino sambil melirik Naraya. Laki-laki itu seperti tengah 'mencium' sesuatu yang sedang Naraya sembunyikan.
Naraya menghela napas. Selama ini dirinya pikir tidak masalah tidak punya teman cerita, toh dia merasa mengenal perasaannya sendiri. Tapi ternyata apa yang dia lihat kemarin tidak hanya membuatnya terkejut. Ada emosi lain yang datang bertubi-tubi dan tidak bisa dia beri nama. Sayangnya, Naraya tidak bisa membahas apa yang dia rasakan ketika kejadian di dekat lift itu terjadi. Padahal Donna dan Pandu saat itu tengah bersamanya. Seandainya cerita pun, dia bingung harus memulai dari mana. Dari alasan kenapa dirinya pura-pura tidak mengenal Yausalkah? Atau apa pertimbangannya saat memulai sandiwaranya dengan Nino? Atau ketika dia tahu bahwa Yausal punya pacar dan dirinya merasa 'gerah'? Atau saat dia sadar bahwa perasaan benci itu sudah berangsur hilang? Atau ketika dia tidak bisa menipu diri saat kedekatan yang terjalin akhir-akhir ini ternyata membuat jantungnya berdebar? Atau di momen dia tertampar akan kebodohannya untuk kali ketiga?
KAMU SEDANG MEMBACA
HATTRICK
RomanceNaraya dan Yausal kembali bertemu untuk ketiga kalinya. Tiga tahun putus kontak, mereka terlibat satu pekerjaan yang sama. Lagi-lagi saling terhubung, tenyata banyak hal yang terjadi di luar dugaan mereka, termasuk usaha keduanya untuk tidak saling...