Chapter 1

730 74 4
                                    

"Ino sarapan di sekolah aja, ya? Beras habis soalnya,"

"Iya, kak."

"Ingat, ya! Jangan sampai nanti malah lupa dan keterusan engga makan sampai siang."

"Iya, bawel. Ino berangkat sekolah, ya." Fino menyalim tangan kanan (Name), setelah tadi sudah berpamitan di kamar dengan Ibu mereka.

Fino pergi bersekolah di sebuah SMP yang ada di perbatasan desa dan kota. Untung warganya di sana ramah, Fino juga punya teman yang satu desa dengannya. Itu membuat kehidupannya sebagai anak SMP tidak belibet.

(Name) kini pergi ke pasar, membeli nasi bungkus karena tak ada bahan makanan apa-apa di rumah. Murah juga, sebungkus hanya 3k, beli dua jadi 6k.

Setelah dari pasar, ia segera pulang untuk sarapan dan membantu ibunya makan serta meminum obat. Setelahnya, pamit lagi untuk memetik bunga di kebun belakang rumah, merangkai ke dalam buket, lalu pergi jualan. Seperti biasa.

=====

"Tumben datang, kak?"

(Name) menatap heran kepada lelaki yang merupakan kekasihnya. Jarang-jarang ia main ke rumah (Name), dan sekarang malahan datang di jam duabelas siang, yang merupakan jam istirahat di kantor.

Siang ini, (Name) pulang lebih cepat karena ia harus menemani ibunya. Tadi pagi, kondisi ibunya kembali memburuk. Suhu tubuhnya yang kemarin sempat turun, kini naik lagi, napasnya juga kembali labil. (Name) jadi khawatir jika meninggalkan ibunya lama-lama.

"Aku gak lihat kamu jualan di jalanan kota, jadi aku ke sini. Kamu hari ini gak jualan?"

Astaga, jadi, Gempa daritadi muter-muter kota sebelum sampai sini?

"Cuma setengah hari.. kesehatan ibu kembali memburuk pas aku cek tadi pagi, aku ga tega ninggalinnya sampai sore."

"Memangnya, ibumu sudah berapa lama sakit demam?"

"Udah empat hari sampai sekarang. Kemarin kan udah membaik, sekarang memburuk lagi."

"... Mending dibawa ke rumah sakit, deh. Kalau demam biasa, enggak begini--"

"--Aih apa sih, kak, negthink banget." potong (Name) langsung.

"Aku kan khawatir sama calon ibu kedua-ku..."

Seketika itu, (Name) merasakan semburat merah muncul di kedua sisi pipinya serta jantung yang berdetak lebih cepat. Dengan cepat ia memalingkan wajahnya untuk menetralisir perasaannya. Gempa terkekeh melihat reaksi gadisnya, lalu tangannya mengelus pucuk kepala (Name).

"Ayo kita bawa ke rumah sakit. Biar lebih pasti tau, dibanding begini-begini terus."

(Name) sangat ingin begitu, tapi ia enggan menerima bantuan sebesar itu. Menurutnya, ia masih mampu merawat ibunya di rumah. Maka ia usahakan itu dulu.

"Emm.. emangnya, rumah sakit masih melayani BPJS?"

"?? Dengar darimana?"

"Tetangga."

Gempa sempat terdiam. "Ah.. kalaupun begitu, aku akan bayar."

(Name) hanya terdiam mendengarnya. Jadi teringat, hutang listriknya belum lunas.

"Engga deh. Aku ga mau nambah hutang--"

"--Kamu ngutang? Sama siapa?"

"... Token listrik bulan ini belum aku bayar." ucap (Name) nyerocos, diakhiri dengan melirik ke arah lain dari Gempa.

"... Kenapa gak bilang? Aku bisa lunasin."

"Aku gak bisa lihat kamu hidup susah."

"Loh, sekarang kan kamu lagi lihat aku yang engga hidup mewah."

Approval [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang