Chapter 9

345 48 0
                                    

"Sayang, gimana kerjaannya?"

"Aku udah selesai photoshoot untuk hari ini, jadi kan date-nya, yang?"

"Jadi dong," Lalu, pria itu membiarkan kekasihnya memeluk sebelah lengannya. Mereka pun berjalan keluar dari studio photoshoot tersebut.

Mereka berdua menuju ke sebuah restoran Japanese Food sebagai tempat kencan. Kemudian, setelah mendapat tempat duduk dan memesan, mereka mengobrol agar tidak kebosanan menunggu.

"Gimana soal pertunangan kamu itu?"

"Aku terima." jawab si perempuan dengan enteng, bahkan senyumannya tampak menyungging lebar.

"Terus, aku gimana untuk seterusnya?"

"Ya... gapapa, kamu tetap pacar aku. Ga ada yang tau kok kalau kita pacaran."

"Tunangan kamu orang kaya gak?"

"Lumayan, dia kerja di perusahaan ternama. Meski itu meneruskan kerjaan ayahnya, tapi jangan salah soal uangnya, loh, ya."

Pria itu menyeringai. "Gak salah kamu dapat tunangan. Kapan hari pertunangan kalian?"

"Mmm... lagi tiga minggu dari sekarang hari H-nya."

"Kamu mau datang?" celetuk si perempuan.

"Enggak, aku mau uangnya aja." Lalu, pria itu tertawa kecil kemudian disusul tawa si perempuan.

Dari kejauhan, mereka tak menyadari ada yang memperhatikan mereka dengan pandangan yang memiliki berbagai arti. 'Jadi gitu cara mainnya.'

=====

Matahari sudah ada di ufuk barat, akan segera beristirahat karena waktunya hampir habis di hari ini. Tampak (Name) yang baru keluar dari cafe untuk segera pulang. Ia dijemput oleh Gempa lagi, seperti kemarin. (Name) pun memasuki mobil disusul mobil yang mulai bergerak.

(Name) memperhatikan kekasihnya ini, yang entah apa arti raut wajahnya saat ini. Apa dia bahagia? Atau, sedang menahan kesal? (Name) kurang paham, ia pun hanya diam dan tak berniat mengganggu Gempa yang sedang menyetir.

Gempa merasa diperhatikan, ia melirik (Name) dan tersenyum. "Ada apa?"

Buru-buru (Name) mengembalikan pandangannya ke depan. Ia menggeleng saja sebagai jawaban.

"Ah, (Name). Kamu udah berhenti jualan bunga, ya?" tanya Gempa dengan topik lain.

(Name) kembali menoleh, "Aku coba jual online, sih, tapi sejauh ini belum ada yang order. Apa mungkin selesai aja ya? Soalnya, aku juga udah kerja tetap di tempat lain."

"Hm.. kalau kamu sanggup ngelakuin keduanya, aku dukung. Tapi, aku mikir sih, gimana kalau misalnya ada yang pesan bunga di saat kamu masih kerja?"

"Nah.. itu yang aku pikir juga. Gimana cara ladeninya? Masa aku suruh Fino... dia juga sekolah. Kalau misalnya ada yang pesan hari ini, ambilnya besok, baru ada kemungkinan aku ladeni."

"... Eh, aku kan bisa buka pas malam hari. Sehabis kerja itu." ucap (Name) lagi, seolah baru saja mendapat ide.

"Lalu, waktu istirahatmu gimana? Pagi sampai sore udah kerja, malam kerja di rumah lagi?"

"Iya, gapapa, aku bisa buka order dari jam enam sore sampai sekian gitu. Lagian, aku juga ga selalu pakai bunga di rumah. Sayang 'kan, kalau dibiarin di kebun."

"Aku sanggup kok." ucap (Name) dengan binar mata yang meyakinkan.

Gempa sempat berpikir sebelum menjawab. "Yakin sanggup? Kalau enggak, jangan setiap hari banget buka order di malam hari. Utamakan kesehatanmu juga."

Approval [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang