Chapter 8

377 46 3
                                    

Hari ini hari sibuk. (Name) tampaknya disuguhkan banyak alat makan terpakai untuk dibersihkan. Entahlah, di hari Kamis begini orang-orang sedang banyak yang datang ke cafe untuk nongkrong sambil ditemani hidangan manis. Apa mungkin karena sekarang Kamis Manis, ya?

Akhirnya, setelah cucian terakhir beres, (Name) segera menyiapkan diri untuk pulang ke rumah karena memang sudah jadwalnya pulang di sore hari.

Di luar, hal yang sama (Name) lihat lagi. Gempa menjemputnya, lagi? Namun, kalau dipikir ulang, bisa saja Gempa datang ke cafe untuk membeli sesuatu. Pasalnya Gempa tak bilang-bilang jika memang akan menjemputnya. (Name) jadi ragu, nanti malah salah dengan asal masuk padahal sebenarnya tidak untuk menjemputnya.

Lalu, lamunannya terbuyarkan begitu suara notifikasi terdengar. (Name) melihat layar handphone-nya yang menampilkan sebaris pesan dari Gempa. (Name) pun segera menghampiri mobil itu, dan masuk.

"Kenapa kamu bengong?" tanya Gempa saat si gadis sudah masuk.

"Aku mana tau.. lagian, jemput engga bilang-bilang."

"Biar surprise katanya,"

Begitu kata Taufan lalu. Ia menyarankan agar adiknya menjemput sang kekasih tanpa mengabari lebih dulu. Biar surprise, katanya, dan entah kenapa Gempa menuruti perkataan kakak keduanya itu.

Mobil pun bergerak menjauhi kawasan cafe. Suasana hanya hening dan serasa tak ada yang berniat membuka suara.

=====

"Kenapa kamu mau terima aku?"

Pertanyaan itu meluncur begitu saja, saat mereka berada di suatu dataran tinggi atau lebih tepatnya saat ini mereka sedang duduk di atas tebing. Tadi Gempa mengajak (Name) ke sini untuk menonton langit sebentar.

(Name) menoleh ke arah Gempa yang baru saja menanyakan hal itu. "Aku pun kurang mengerti. Awalnya, kita ketemu karena kamu hampir tabrak aku... setelahnya, kita ketemu terus di jalanan.."

"Kamu baik banget. Bahkan kamu sering tuh beli bunga aku, dan pernah sekali borong itu semua. Entah untuk apa."

"Yang jelas untuk bantu kamu." sahut Gempa

(Name) menunduk dan menghela napas, lalu kembali menatap langit. "Kamu tuh... baik. Aku pikir selama ini orang kaya itu menyeramkan dan suka menindas orang miskin.. tapi, kamu merubah cara pikirku itu."

"Kamu pernah digituin?" tanya Gempa

Samar-samar Gempa dapat melihat (Name) mengangguk. "Aku pernah kelamaan ngutang token, terus didatangi rentenir dan nagihnya itu maksa. Terpaksa deh semuanya aku kasih biar dia pergi dan ga hantui aku lagi, setidaknya untuk sementara waktu."

Gempa cukup tak senang mendengar cerita (Name). Ia pun menghela napas. Ingin sekali ia bantu gadisnya, tapi jawabannya pasti banyak. Ia mengerti (Name) itu enggan, tapi setidaknya terima saja, itu juga untuk meringankan hidupnya.

"Gempa, mending kita pulang. Udah sore banget." (Name) memecah keheningan dengan mengajaknya pulang. Dituruti saja oleh Gempa, karena memang sudah sangat sore dan pasti Fino menunggu kakaknya.

Setibanya di rumah, (Name) membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. Ia tak melihat siapapun di ruang tamu, (Name) pikir Fino sedang ada di kamarnya. Lalu segera saja (Name) ke dapur, memasak untuknya dan Fino.

Hingga ia selesai memasak, ia memanggil adiknya untuk diajak makan malam bersama. (Name) lihat Fino sedang tidur di atas kasur, segera (Name) bangunkan karena hari sudah akan gelap di jam yang hampir menunjukkan angka enam tepat.

Terdengar erangan baru bangun dari Fino. Ia sudah membuka mata sedikit dan melihat (Name), lalu kembali tidur dengan menutupi wajahnya menggunakan bantal guling.

Approval [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang