Chapter 22

371 45 15
                                    

Hari libur begini, bagusnya dimanfaatkan untuk melakukan hal positif. Entah itu olahraga, bersih-bersih rumah, me-time, dan sebagainya.

Pagi ini (Name) diajak oleh Evy untuk bermain ke panti asuhan. Ia sebenarnya sudah mengajak banyak orang dekatnya, tapi sebagian besarnya sibuk. Yang tidak sibuk hanya Taufan, Gempa, dan (Name). (Name) juga mengajak Fino dan Evy membolehkannya. Wanita itu juga mengajak anaknya yang masih kecil.

Mereka berenam pun tiba di Panti Asuhan Matahari. Banyak anak kecil yang asik bermain di halaman depan. Mereka tampak ceria. Meski Evy tak mengenal anak-anak itu, ia bahagia melihat mereka saat ini.

Lalu, ia menghampiri Taufan, Gempa, dan Fino yang masih sibuk mengeluarkan barang dari bagasi. (Name) juga di sana membantu, bantu lihat. Setelahnya, mereka berenam pun masuk ke panti asuhan. Dari baru membuka gerbang yang memang tak terkunci, anak-anak di halaman depan terpaku pada mereka.

Saat sedang menuju gedung yang merupakan rumah bagi anak-anak, seorang anak balita menghampiri (Name). (Name) pun menunduk dan melihat anak itu tersenyum padanya. Entah apa artinya, (Name) kurang mengerti. (Name) lantas menoleh ke arah Evy yang ternyata memperhatikannya.

"Ga apa-apa, (Name). Anak panti seumuran dia emang suka nyamperin. Mereka maunya digendong." ucapnya, seolah mengerti.

(Name) kembali menatap balita imut itu, (Name) pun mengambilnya. Balita itu tampak bahagia sekali berada di dekapan (Name), membuat keempat orang di dekat (Name) terkekeh melihatnya. Lalu, mereka pun kembali melanjutkan langkah hingga tiba di teras rumah.

Evy yang menekan bel lalu serentak mereka mengucapkan salam. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan menampakkan sang ibu panti, Bu Nira. Evy pun menyalim tangannya kemudian mulai mengobrol. Mereka sudah saling kenal, hanya saja Bu Nira sudah agak lupa dengan Evy yang lama tak datang ke panti.

Selagi Bu Nira dan Evy sibuk mengobrol, ketiga lelaki beserta (Name) duduk di kursi teras. Kaki mereka juga tak kuasa jika harus terus berdiri di belakang Evy. Ada yang menikmati pemandangan yang ada di hadapan mereka, bermain handphone, ataupun bermain dengan anak-anak di situ.

(Name) contohnya. Ia dan anak balita itu asik bermain. Padahal mereka bukan siapa-siapa dan baru bertemu pertama kali, anak kecil itu tampak sudah begitu terikat pada (Name).

Melihat (Name) bersama balita itu, membuat Gempa merasa punya istri dan anak. Mereka tampak akur dan juga hangat- eh, apa yang dipikirkannya itu?

"Gem, biasain aja, kali." ucap Taufan, menciduk adiknya yang sibuk memandangi (Name).

"A-apa emangnya? Aku ga ngapa-ngapain."

"Dah, sabar, ya, Gem. Ada waktunya kok nanti."

Gempa seketika mencubit pipi kakaknya itu. Ternyata dirinya sedang digoda. Taufan hanya tertawa melihat respons adiknya yang agak lambat.

"(Name), siapa namanya?" tanya Taufan pada (Name).

"... Aku belum tau. Dia juga belum bisa ngomong lancar."

Taufan pun manggut-manggut. "Eh, (Name), kata Gempa dia mau anak kayak gitu dari kamu."

"Hah?"

Seketika Gempa mencubit pipi kakaknya, lagi, yang memfitnah dirinya secara frontal. Untung respons dari (Name) barusan itu lambat. "Jangan didengerin, (Name)."

(Name) hanya bergidik bahu, lalu mengabaikan kedua pria itu dan kembali bermain. Tak lama kemudian, Evy memanggil mereka dan mengajak masuk. Suasana di dalam terasa nyaman bagi (Name). Di sisi lain ruang tamu ada tempat bermain untuk anak kecil. Di hadapan (Name) yang saat ini sedang duduk di sofa, ada beberapa ruangan yang kurang (Name) ketahui apa itu.

Approval [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang