Chapter 11

351 53 8
                                    

Ekhem, sebelumnya perlu dijelaskan, jika rumah tersebut merupakan rumah pribadi milik Gempa. Meski dikatakan rumah pribadi, rumah tersebut bisa ditinggali satu keluarga. Itu rumah yang sengaja Gempa buat dengan alasan untuk dijadikan rumahnya bersama istrinya nanti. Rumah itu berada jauh dengan rumah bersama orang tuanya, tetapi ternyata berada di ujung lain desa tempat tinggal (Name).

Katakan saja seperti, desa tempat tinggal (Name) memiliki ujung satu dan ujung dua. Ujung satu itu adalah jalan menuju kota dan ujung satu juga jalan masuk yang biasa dilewati Gempa untuk pergi ke rumah (Name). Ujung dua itu adalah jalan menuju kota sebelah, kawasan di situ terbilang subur dan ditumbuhi banyak pepohonan, ujung dua juga kawasan yang dekat dengan perbukitan.

Belibet, tapi, semoga paham.

Kini, Taufan mengajak kembarannya untuk bermain game. Mumpung lusa kemarin ia sempat ke sini hanya untuk menyusahkan Gempa alias memberantakan rumah. Namun, pada akhirnya, ia diajak--ralat, dipaksa oleh Gempa untuk membersihkan kelakuannya. Selain melakukan perbuatan tercela itu, Taufan datang dengan tujuan utamanya untuk menyimpan kelengkapan bermain game yang ia punya di salah satu kamar.

Gempa hanya mengiyakan, kemudian Taufan segera mengambil kabel, stik, dan lain-lain agar bisa bermain game di layar televisi. Itung-itung ajakannya ini memiliki niat agar Gempa tidak kebosanan serta mengembalikan ekspresinya yang terlihat sedang tidak baik-baik saja. Kini, permainan sudah dimulai dan keduanya sedang fokus pada layar televisi serta jari-jemari yang tampak lincah memainkan stik game.

"K*nt*l! Dikeroyok gue!"

"Kak Taufan, mulutnya!"

Maklum, kaum emosian main game, jadinya kata-kata mutiara pun bertebaran. Gempa selaku kaum sabar sesekali mengomel ketika Taufan mengumpatkan kata kasar.

Padahal sudah setua itu usianya, kalau mainnya berkelakuan atau berkata kasar, langsung di-counter oleh Gempa.

Defeat!

"Aarrgh! Sial, sialnya gw dikroyok! Dasar curang!" umpat Taufan

"... Perasaan gak ada curang-curangnya, deh." ucap Gempa, yang kini sedang merapikan kabel.

"Ya, tapi, Upan sendiri, lah mereka bertiga! Keroyokan itu, gak adil!"

"Mainnya kan tim, bukan individu."

Taufan mendengus sebal. Ia lalu mengambil sebotol minuman dan diteguk hingga tersisa setengah botol.

"Mending kita jalan-jalan, soalnya main game malah nambah emosi." ucap Gempa yang sudah selesai merapikan yang berantakan.

"Kemana?" tanya Taufan

"Naik bukit di dekat sini mau? View-nya bagus dilihat-lihat."

"Pernah lihat dimana?"

"Aku pernah ke sana sendiri."

"Beneran tuh nanjak sendirian?"

"Emm, enggak lah, cuma lihat dari bawah."

"Ya udah, ayo ke sana."

=====

Setelah menyiram, (Name) mengamati bibit bunganya yang sudah menumbuhkan daun sembari mencabut tanaman liar yang ikut tumbuh di sana. (Name) tersenyum, hanya dengan melihat tanaman baru tumbuh itu membuatnya bahagia.

Tau ga sih, kalau tanaman kecil karena baru tumbuh tuh lucu?

Setelah beres dengan urusan kebun, (Name) mencuci tangan kemudian kembali ke dalam. Dirinya hanya sendiri di rumah, tak ada Fino karena ia pergi kerja kelompok. (Name) juga tak bekerja karena sekarang hari Minggu. (Name) memutuskan untuk menonton televisi saja.

Melirik jam yang terus berputar dan menunjukkan jika hari sudah siang, (Name) merasa bosan. Dari jelang siang tadi sampai kini Fino masih sibuk kerja kelompok, dan belum pulang. (Name) tau Fino itu anak yang baik, ia tak akan melakukan hal lain selain melakukan tujuan utamanya. (Name) juga sudah mewanti-wanti menasehatinya setiap sebelum pergi keluar rumah.

Cuaca siang ini tampak baik-baik saja, tak begitu panas. (Name) memutuskan untuk pergi keluar rumah. Tentu sebelumnya ia bersiap-siap terlebih dahulu. Ia kini akan pergi berziarah.

Setelah mengunci pintu, (Name) segera pergi ke pemakaman. Pemakaman tersebut cukup jauh jika hanya berjalan kaki, tetapi tak apa-apa untuk saat ini karena cuacanya cukup mendukung.

Setibanya di pemakaman umum di desanya, (Name) mulai masuk dan berjalan menyusurinya, mencari dimana makam orang tuanya. Setelah melihatnya, (Name) pun menghampirinya.

Ia membersihkan makam tersebut dari rumput liar yang tumbuh memenuhi gundukan tanah tersebut, setelahnya berdoa untuk orang tuanya. Sebenarnya, ada sedikit hal yang ingin (Name) ungkapkan, jadinya ia lakukan di sini saja.

Sampai-sampai ia lupa waktu. Ia baru menyadarinya saat memeriksa jam di handphone-nya. Sudah akan pukul dua siang, (Name) memutuskan untuk pulang. Siapa tau Fino sudah pulang jam segini.

Benar saja, saat tiba di rumah ia menemukan adiknya duduk di depan pintu rumah. (Name) heran, ia pun mulai memasuki halaman rumahnya.

"Kamu ngapain diam di sini?"

Fino pun segera berdiri, "Kan rumahnya dikunci."

"... Lah? Udah berapa lama kamu diam di sini?"

"Kalau gak salah ... tadi aku pulang dari rumah teman tuh pas jam satu."

"... Kenapa ga kasih tau kakak? Kakak tadi habis dari pemakaman," (Name) pun segera membuka kunci pintu. Lalu mereka berdua masuk.

Fino hanya garuk-garuk kepala. "Aku gak bawa hp, lupa."

"Astaga ..."

To Be Continued

Approval [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang