Chapter 6

424 53 6
                                    

"Gem, Upan pengen tau. Kenapa kamu lebih milih (Name), ketimbang Michella?"

Gempa punya alasan untuk menjawab pertanyaan Taufan. Jika dibandingkan, (Name) dan Michella memang sangat berbeda. (Name) miskin, Michella kaya, (Name) selalu sederhana, Michella selalu mewah.

Apa yang membuatnya lebih memilih (Name)? Mudah saja, Gempa lebih menyukai hal sederhana, meski dirinya hidup dibelenggu kekayaan dan kemewahan.

(Name) juga orang yang pengertian dan manis, serta selalu segan. Sedangkan Michella? Ia akui perempuan itu memang cantik, tapi sifatnya membuat Gempa mual. Orangnya berisik, ingin saja diperhatikan dan dipuji, serta orangnya juga terbilang sombong. Gempa tak suka.

"Jadi.. kamu suka ke sifatnya?"

"Iya, bisa dibilang begitu.. kekayaan bisa dicari, kak, tapi kepribadian itu tumbuh dalam diri manusia. (Name) punya kepribadian yang aku suka, jadi aku gak perlu jauh-jauh nyari yang tampangnya lebih sempurna"

"Bagiku, (Name) udah sempurna dengan penampilan yang sederhana." lanjutnya

Taufan tersenyum, cukup unik alasan Gempa bisa menyukai gadis desa, padahal sudah diberi gadis kota. Yang tentunya mereka berdua memiliki perbedaan yang menonjol.

"Emang agak lain, ya. Awalnya juga karena hampir nabrak,"

"Hehe, gitulah."

=====

Keesokan harinya, tampak seorang (Name) sedang menyiram di kebun. Pagi ini Fino hendak berangkat sekolah, ia pun berpamitan dulu pada kakaknya.

"Eh, uang jajannya," cegat (Name), saat adiknya ingin pergi begitu saja setelah berpamitan.

"Gak usah, kak. Aku tahan anti jajan sampai siang. Lagian, tadi 'kan udah sarapan,"

"Beneran nih?"

"Iyaa, ya udahlah. Fino berangkat dulu." Remaja itu langsung pergi dari rumah, menuju sekolah, sebelum kakaknya sempat membalas lagi.

Jika sudah begini, (Name) berharap saja agar pikiran buruknya tak terjadi. Namun, ia tak sepenuhnya ragu, Fino itu laki-laki dan dia mudah bergaul dengan baik. Ia pasti akan baik-baik saja.

Matahari sudah semakin terlihat bergerak ke barat, dan (Name) hanya sedang di dalam rumah. Di siang hari begini, sebentar lagi Fino akan pulang.

Namun, tiba-tiba ia mendengar ketukan pintu. Tak mungkin itu Fino 'kan, karena jam pulang sekolah Fino masih sejam lagi. Tapi, tetap (Name) buka pintu. Ternyata, di situ ada Gempa.

(Name) pun mempersilahkan Gempa masuk. Lalu, Gempa duduk dan meletakkan paper bag kecil di atas meja.

"Itu apa, Gem?" tanya (Name)

"Tadi sebelum ke sini aku sempat beli makanan."

Seakan tau saja jika kekasihnya ini mogok makan dari tadi pagi. Dengan niat berhemat, agar bisa menjalani hari berikutnya. Apalagi, (Name) mogok jualan karena tak ada barang yang bisa dijual selain bunga yang belum banyak tumbuh.

"Oh..." (Name) memperhatikan Gempa yang mengeluarkan dua porsi roti bakar yang dibalut kertas berbentuk trapesium dari dalam paper bag itu. Gempa memberi salah satunya untuk (Name), dan diterima olehnya karena sejujurnya ia merasa lapar.

Memperhatikan kekasihnya, lantas Gempa bersuara. "Kamu.. belum makan dari tadi?"

"Kok kamu nanya?" tanya (Name) balik.

"Kamu kayak orang kelaparan."

"Kan aku emang lapar."

Dikatakan salah juga tidak benar. "Oke.. kalau masih lapar, bilang aja,"

(Name) menggeleng. "Ini udah kayak makan nasi sepiring, buat aku."

"Btw, ini enak. Gede lagi rotinya." ungkap (Name)

Gempa terkekeh. "Mau lagi? Kebetulan tempatnya gak jauh dari desa."

(Name) menatap Gempa sambil berkedip. Dikira akan menjawab iya, ternyata, "Ga dulu. Makasih ya, Gempa."

Gempa mengangguk sebagai respons. Setelah makanan mereka habis, (Name) membuang kertas yang tadi digunakan membalut roti tersebut. Lalu kembali duduk di samping Gempa. Mata lelaki itu tak beralih dari perempuan itu.

"Ada apa, Gempa?" tanya (Name)

"... Perasaanku aja, atau kamu emang lebih kurus?"

"Aku kan emang ga gendut." (Name) terdiam sebelum bersuara kembali. "Kerempeng, ya?"

"Enggak. Apa kamu jarang makan?"

Gempa sepertinya sedang berguru pada seorang cenayang, bahkan ia bisa menebak jika akhir-akhir ini (Name) jarang makan. Malahan, (Name) lebih sering memperhatikan Fino dibanding dirinya sendiri.

Tak ada sahutan dari (Name), melainkan hanya tatapan. "Kalau kamu kayak gini, yang ada kamu sakit. Siapa lagi yang aku ajak cuddle-an kalau udah sakit?"

(Name) tertawa kecil mendengarnya. Kemudian, kembali ke ekspresi awal. "Aku akhir-akhir ini lebih perhatian ke Fino doang.. sampai lupa sama diri aku sendiri."

"Mana bisa gitu. Kamu harus bisa perhatian ke diri kalian, bukan cuma Fino."

(Name) hanya diam. Kepalanya tertunduk. "Andai aku masih punya orang tua yang sehat... ga bakal pusing mikir masalah hemat uang sampai ga makan. Kan pastinya ada ayah yang aku bantu bekerja dan menambah penghasilan keluarga."

Tatapan sendu terpancar dari sepasang mata pria berumur 26 tahun itu. "Masalah uang, ya... kamu bisa bilang aku. Apa gunanya aku kalau bukan untuk bantu kamu?"

(Name) menggeleng. "Kamu kerja buat siapa? Keluarga kamu 'kan, dan juga meneruskan pekerjaan ayah kamu. Lagipula, kita cuma pacaran.. bukan suami istri."

"... Iya, memang. Untuk sekarang namanya membantu. Nanti kalau udah jadi suami kamu, kan namanya nafkahin. Biar kamu gak pusing dengan masalah uang sampai-sampai gak makan."

Haduh, lagi sedih-sedihnya malah sempat-sempatnya begitu.

"Iya, tapi--"

"--Ngerepotin? Nyusahin aku? Takut dimarahin orang tua aku? Itu urusanku. Aku gak merasa direpotkan, karena aku bantu hidup kamu." potong Gempa

(Name) kembali diam. "Um.. aku ga enak aja."

"Kenapa?"

"Ya, ga enak." (Name) menjeda ucapannya. "Aku kadang mikir, aku ini pacarmu atau simpananmu? Soalnya, aku ga diakui begitu oleh orang-orang dan kamu 'kan bakal dijodohkan..."

"Kamu calon istriku, gitu aja sekalian." Gempa menghela napas. "Jadi, kamu ngerasa gak enak karena Michella? Dia itu bukan siapa-siapa. Aku gak anggap dia siapapun untuk aku. Mau dibilang calonku, jodohku, atau apalah. Yang aku pilih 'kan kamu, bukan yang lain."

(Name) bingung harus menjawab apa untuk pengungkapan Gempa itu. Cukup membuatnya heran. Dikasih jajanan utuh, kok masih mungut remahannya? Begitulah pikir (Name).

"Gempa..." panggil (Name), "Kamu aneh. Dikasih yang bagusan, masih aja kekeuh milih yang bulukan."

Gempa tersenyum teduh, tangannya mengelus kepala (Name). "Biar bulukan katamu, masih bisa diservis kok."

"... Kenapa, Gempa? Aku jadi heran deh,"

"Karena aku mencintaimu."

To Be Continued

Approval [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang