Kivan terbangun saat ban dari gerobak pedati itu menyandung batu yang agak besar, sementara yang lainnya masih tertidur pulas di dalam pedati itu.
"Aduuh maaf kisanak, apa saya telah membuat kisanak terbangun?"
"It's okay pak, hehe."
Pak Sutarjo sedikit kaget dan terheran-heran mendengar jawaban Kivan, namun beliau tetap menanggapi perkataan Kivan dengan cara mengangguk serta tersenyum kikuk.
Tiba-tiba di balik kesunyian malam perut Kivan berbunyi kembali, membuat pak Sutarjo mau tidak mau mendengarnya.
"Kisanak lapar ya? Maaf makanan yang di bekali oleh anak saya sudah habis di perjalanan sebelum bertemu dengan kisanak, saya sudah tidak punya perbekalan lagi untuk kisanak makan," ujar beliau dengan nada lemah lembut.
"Nggak apa-apa pak, saya nggak begitu lapar kok," jawab Kivan berbohong.
"Begini saja, nanti kalau kita sudah sampai Trowulan saya belikan kisanak dan teman-teman kisanak makanan. Bagaimana?"
"Waahh sabi tuh pak, hehe. Matur sembah nuwun nggeh pak, bapak baik banget deh."
"Ha? Aah i-iya kisanak bukan apa-apa, hehe," jawab pak Sutarjo yang masih merasa bingung dengan bahasa yang di gunakan Kivan untuk menjawabnya.
Setelah terjadi percakapan yang lumayan panjang, Kivan memutuskan untuk tidur kembali. Suasana kembali hening, hanya ada suara ban kayu dari gerobak pedati dan suara dari langkah kaki si sapi yang terdengar.
"Kisanak bangun, kita sudah sampai di gerbang kota Trowulan," kata pak Sutarjo mencoba membangunkan mas Naung, Kivan, Janu dan Sanja saat mereka telah sampai di gerbang kota.
"Hoaamm, rasanya masih ngantuk banget," kata Kivan dalam hati sembari merenggangkan otot-ototnya yang terasa sedikit kaku karena tidur beralaskan kayu gerobak, begitu juga dengan ketiga temannya.
Namun saat ia membuka mata, Kivan tidak lagi merasakan kantuk karena melihat matahari bersinar dengan begitu indah.
"Wow, indah banget pagi ini. Ternyata bumi Majapahit masih asri banget," pujinya.
"Iya cuy indah banget, udaranya juga masih fresh banget nggak ada polusi sama bunyi mesin dari mobil atau motor," timpal Janu yang juga baru terbangun dari tidurnya.
"Pak maaf apa benar ini Trowulan ibu kota Majapahit?" Tanya mas Naung ke pak Sutarjo dengan hati yang berbunga-bunga.
"Benar, ini adalah ibu kota Majapahit."
Pak Sutarjo kembali melajukan pedatinya memasuki gapura. Sesampainya di dalam kota, mereka melihat banyak sekali pasar-pasar serta orang berpakaian zaman dulu berlalu lalang dengan aktivitasnya masing-masing.
Pak Sutarjo melajukan pedatinya mendatangi sebuah tenda makan sederhana, beliau menepati janjinya untuk mentraktir mereka berempat makanan.
"Nah lihat lah kesana kisanak, bukankah terlihat indah istana Majapahit jika di lihat dari sini," pak Sutarjo menunjuk sebuah bangunan istana megah di balik sana. Kivan memandangnya dengan mata berbinar.
"Waahh jadi begini penampakan bangunan istana Majapahit? Gilak di tambah dengan background cahaya matahari bangunannya jadi keliatan bersinar banget! Nggak nyangka. Kita yang selalu denger-denger aja dari dosen atau guru sejarah, sekarang kita bisa liat langsung pake mata kepala sendiri," puji mas Naung, begitu juga dengan ketiga temannya.
Mata mereka berbinar penuh kekaguman, lalu mereka pun memutuskan turun dari dalam gerobak pedati itu.
"Ayo masuk, kita sarapan dulu, Kisanak pasti lapar sekali karena tidak makan apa-apa dari semalam kan?"
"Eh pak, serius ini?" Tanya Sanja terkejut.
Bapak itu pun mengangguk sembari tersenyum, lalu mereka pun masuk ke dalam tenda tempat makan itu. Sesampainya di dalam mereka berempat segera memesan beberapa singkong bakar dan jagung rebus, tak lupa dengan secangkir kopi dan teh.
Sepuluh menit kemudian pak Sutarjo dan keempat pemuda itu keluar dari tenda makan.
"Pak, sekali lagi kita sampaikan terimakasih atas tumpangan serta makanannya." Mas Naung mengucapkan terimakasih kepada pak Sutarjo tepat setelah mereka keluar dari tenda warung makan sebagai perwakilan dari ketiga temannya.
"Maaf, ini kami ada sedikit uang dan barang alakadarnya yang saya punya. Sebagai imbalan buat bapak yang sudah membantu kami sampai sini," kata Kivan menimpali perkataan mas Naung sembari memberikan beberapa barang dan uang 100 ribu kepada pak Sutarjo yang masih ia miliki di sakunya.
Sembari terheran-heran melihat mata uang yang pemuda itu berikan untuknya, pak Sutarjo menerima pemberian itu.
"Waah, mata uang dari negeri mana ini kok saya baru melihat mata uang yang seperti ini? Kisanak-kisanak ini dari negeri mana kalau boleh saya tahu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Get Lost In The 14th Century [END].
Historical Fiction⚠️[JANGAN LUPA KASIH VOTE]⚠️ Pernahkah kamu mendengar mitos tentang dimensi lain? Atau pernahkah kamu mendengar cerita tentang orang tersesat di sebuah dimensi lain yang mengandung banyak sejarah? Mungkin semua ini terdengar seperti mitos belaka...