Lembar 11 || Menjadi Tawanan.

79 23 2
                                    

Mereka yang tidak mengetahui maksud dan tujuan si prajurit yang menghampirinya pun hanya diam dan berusaha menelaahnya.

Langkah mereka pun ikut terhenti saat si prajurit tersebut semakin dekat. Saat beberapa prajurit tersebut sudah mendekat, keempat pemuda itu di todong dengan beberapa tombak dan pedang tepat di lehernya.

"Berhenti!" Gertak salah satu prajurit

"E-Eh apaan-apaan nih?!" Pekik mas Naung sembari reflek mengangkat kedua tangannya setinggi dada, begitu juga dengan ketiga temannya.

"Siapa dan darimana asal kisanak ini?!" Tanya prajurit yang lain sembari menahan kedua tangan mereka berempat kebelakang punggung mereka masing-masing dengan menggunakan tali.

Dan tanpa bertanya lagi para prajurit tersebut membawa paksa mereka pergi.

"Kenapa ini? Salah kita apa? Kita nggak merasa melakukan apa-apa kenapa di tahan begini?"

"Kami akan melaporkan kalian kepada tuan senopati!"

"Hah? Nggak! Kita bisa jelasin maksud dan tujuan kita datang ke sini, lepasin kita duluu! Arrgghh, TOLOONG! LEPASIIN!" Kali ini Janu yang bersuara dan berusaha memberontak.

Mereka berempat masih terus meronta-ronta agar di bebaskan dari para prajurit tersebut, hal itu membuat orang-orang disekitar menatap mereka kembali dengan tatapan julid.

Sempat beberapa kali mereka mendengar julidan wanita-wanita serta orang pribumi berkata dan mencurigainya.

"Siapa pemuda-pemuda yang tengah di tawan itu?" Bisik seorang perempuan pribumi saat mereka berempat melalui mereka.

"Pemuda-pemuda itu sangat tampan, tapi mengapa mereka di tawan seperti itu? Apa mereka mata-mata musuh, jika iya sayang sekali dengan wajah seperti itu adalah musuh kita."

"Pakaian dan warna kulitnya saja terlihat berbeda dengan kita. Sudah pasti mata-mata dan musuh kita. Baguslah kalau mereka di tawan, aku harap para pemuda itu di hukum seberat-beratnya."

"Aku terganggu dengan wajah mereka yang terlihat lebih tampan daripada aku. Sayang sekali, memang ya mempunyai wajah tampan tidak menjamin berumur panjang. Dewata yang agung sungguh adil, aku tau itu."

Janu yang notabenya adalah seorang yang emosian pun tidak bisa lagi menahan amarahnya, sekuat tenaga dia berusaha memberontak.

"BACOT KALIAN! KALIAN KALAU MAU CAKEP MAH PERAWATAN ANJIR! OPERASI PLASTIK KEK APA KEK, JULID AMAT JADI ORANG! KITA BUKAN ORANG JAHAT YAA, SEMBARANGAN AJA KALAU NGOMONG!"

"LEPASIN KITA COK! KITA BUKAN PENJAHAT! AARRGGHH," kesalnya.

"Woy Lef, tenang dulu bisa nggak sih? Jangan emosi gini. Semakin kamu emosi mereka semakin yakin kalau kita ini orang jahat. Udah santai aja, ntar kita coba klarifikasi ke senopati yang mereka bilang itu," kata mas Naung mencoba menenangkan Janu.

Akhirnya Janu pun tenang, namun cowok itu masih tetap memberontak walapun tidak sebrutal tadi.

Sesampainya di dalam istana salah satu dari mereka masuk ke dalam guna melaporkan Kivan dan teman-temannya kepada sang atasan.

Dan tak lama kemudian datang seseorang berperawakan gagah serta berkumis tebal dengan wajah berwibawa dan seram.

"Ada apalagi ini, ada kegaduhan apalagi?" Tanya laki-laki itu dengan nada tegas.

"Apa mereka maling?" Lanjutnya.

"Bukan tuan senopati, mereka bukan maling," jawab salah satu prajurit.

"Lantas mengapa kalian menangkapnya?"

"Keempat anak muda ini sangat mencurigakan tuan senopati. Dari gerak-gerik, warna kulit dan pakaiannya pasti mereka mata-mata dari negeri seberang," ujar salah satu prajurit lainnya menerangkan.

Mendengar penuturan salah satu prajuritnya sang senopati terlihat manggut-manggut dan mulai mendekat dan menatap mereka berempat secara bergantian.

"Apa benar yang di katakan oleh para prajurit ini anak muda?" Tanya sang senopati kepada Sanja.

"B-Bukan tuan," jawab Sanja terbata-bata.

"Tapi jika di lihat dari pakaian, kalian bukan penduduk sini. Lantas apa maksud dan tujuan kisanak datang kesini?" Tanya sang senopati lagi dengan tegas dan tenang.

Mereka berempat tidak ada yang berani menjawab, semua menundukan wajah karena takut melihat wajah sang senopati yang terlihat garang.

"I-Ini cuma salah paham saja tuan, kalau kami ceritakan akan sangat panjang. Kami... Kami tidak sengaja datang kesini, bisa dibilang kami tersesat tuan. Sumpah kami tidak berbohong," ucap Kivan pada akhirnya, nada bicaranya terdengar ketakutan.

"Hmm, jawaban kamu sungguh tidak masuk akal hey anak muda," gertak senopati itu.

Kivan dan keempat temannya semakin ketakutan mendengar gertakan serta wajah dari sang senopati dari dekat. Sungguh yang mereka rasakan saat ini adalah seperti bertatapan dengan seekor harimau kumbang langsung dari dekat.

"Sungguh tuan senopati, kami bukan mata-mata seperti yang tuan dan para prajurit tuan curigai. Kita hanyalah pemuda biasa yang sedang tersesat. Tolong lepaskan dan biarkan kami pergi tuan senopati." Kivan masih berusaha memberanikan diri untuk menjelaskan dan memohon kepada sang senopati.

"Lancang sekali kisanak ini kepada tuan senopati!" Kompor salah satu prajurit.

"Mohon ampun tuan senopati, pemuda ini terlihat lancang kepada tuan senopati. Apa perlu dia dimasukan ke dalam penjara?" Lanjut prajurit tersebut.

"Ya masukan saja dulu ke penjara bawah tanah, biarkan aku melaporkan hal ini terlebih dahulu ke yang mulia raja. Biarlah dia yang memutuskanya besok," perintah senopati tersebut.

"Apa?! Tidaak, tolong percayalah kepada kami tuan senopati!" Pekik Janu lagi.

Senopati itu menghiraukanya, lantas mereka berempat kembali di seret oleh para prajurit. Setelah sampai di bawah tanah, Kivan dan ketiga temannya langsung di dorong masuk ke dalam penjara.

"Argh! Kasar banget dah. Santai dong, elah. Kita manusia bukan hewan kali," sewot mas Naung.

"Diam kamu!"

"Buset galak amat, padahal cuma prajurit juga," keluhnya lagi.

"Di bilang diam ya diam, paham tidak!" Jawab prajurit tersebut sembari menggebrak sel tahanan dengan tombaknya cukup keras.

Dengan wajah masih kesal dan sewot, Kivan dan ketiga temannya mau tak mau menuruti perkataan sang prajurit.

"Gimana dong ini mas? Aku nggak mau disini," rengek Sanja.

Mas Naung hanya diam tak menanggapi, jujur untuk situasi kali ini ia tidak tau harus berbuat apa-apa.

Beberapa menit setelah mereka berpikir untuk keluar dari penjara itu, Kivan mendapatkan sebuah ide untuk mencoba bernegosiasi dengan prajurit penjaga yang sedan menjaga sel mereka.

"Oi! Psstt, phiwit, kiw prajurit," panggilnya.

Get Lost In The 14th Century [END].Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang