"Inilah Surabhaya Manggala, Shankara, kota dengan seribu pesona dan sejarahnya. Selamat datang di kota kebanggaan kita," ujar Wisang kepada Sanja dan mas Naung saat tiba di pintu gerbang kota Surabaya.
"Ya, aku seneng banget berada disini. Kita bisa bebas menjelajahi kota ini tanpa dibebankan tugas negara. Ternyata ikut berpetualang sana kalian ke Sunda nggak buruk hahaha," ucap Sanja dengan wajah sumringah sembari terus memacu kuda memasuki kota Surabaya.
"Halah ini kan baru permulaan Ja, tapi iya cuy, berasa liburan kita, hehe," ucap mas Naung menimpali.
"Ingat ada tugas besar di pundak kita untuk secepatnya mengantar surat wasiat ke negeri Sunda Galuh!" Teriak Wingsang sambil memacu kuda dan berusaha mengejarnya.
"Hahaha, iya tau. Seenggaknya kita bisa sekedar santai nikmatin perjalanan ini bro," jawab Sanja lagi sembari tetap memacu kudanya.
Sanja dan mas Naung merasa senang bisa mengelilingi dan mengenal lebih dekat dengan kota ini, disana dia merasa berada di daerah lain seperti bukan di negeri Majapahit.
Rumah-rumah dan bangunan disana tak semuanya berbentuk joglo, banyak rumah yang dibangun menyerupai adat dan khas daerah asal dari pemiliknya.
Karena di kota itu sudah sangat homogen penduduknya, mulai dari kerajaan-kerajaan sekitar bahkan sampai dari benua yang berbeda.
Banyak pendatang-pendatang dari India, Arab, China bahkan Madagaskar dan Afrika yang menetap dan membentuk suatu komunitas disana. Namun semua hidup rukun harmoni dan selaras dengan budaya Majapahit.
Di kota itu mereka berdua juga merasakan nuansa yang sudah lama tak mereka rasakan lagi. Yaa, suara adzan yang berkumandang mengingatkannya pada zaman yang mereka tinggali sebelum terjebak di era Majapahit ini.
Islam sudah menjadi agama mayoritas di kota itu, tapi disini di zaman ini Sanja dan mas Naung mulai merasakan kehadiran ajaran islam sudah mulai mewarnai kehidupan di bumi nusantara.
Yap, Islam dimasa itu sudah mulai berkembang di pesisir dan mulai menyebar ke bagian hulu, di Surabaya ini nuansa islami sudah mulai kental mewarnai sendi-sendi kehidupan kota.
Hampir 60% penduduk Surabaya beragama Islam. Karena di sini selain penduduk lokal, banyak pendatang dari Arab, China, India yang mayoritas membawa dan mengajarkan agama Islam.
Dan keberadaan ini bukan tidak diketahui oleh petinggi kerajaan, namun memang konsep Majapahit dan leluhur masyarakat Jawa yang pada umumnya lebih terbuka dan menjunjung tinggi sikap toleransi.
Setelah berjalan menyusuri keramaian kota, akhirnya mereka bertiga sampai di pesisir pantai, begitu sampai dipesisir, mereka langsung turun dari pelana kudanya.
"Aaahhh seneng banget rasanya bisa ngeliat pantai begini, anginnya semilir bikin hati tuh damai banget, ya kan Wing, mas?" Ucap Sanja kepada Wingsang dan mas Naung sembari matanya menatap laut lepas.
Angin semilir itu juga meniup-niup rambut hitam mereka, menambahkan aura kegagahan serta ketampanan mereka bertiga.
"Yaa itu benar sekali Shankara, sebagai abdi dalem kita memang jarang ditugaskan keluar ibu kota. Jadi pemandangan pantai seperti ini rasanya sangat menyenangkan," jawab Wingsang sambil menuntun kudanya berjalan ditepi pantai.
"Wing, Ja ayo kita kesana! Kita udah cukup lama nih santai-santai disini," ajak mas Naung kepada Wingsang dan Sanja sambil menunjuk arah Pelabuhan.
"Baiklah ayo kita kesana," jawab Wingsang bersemangat.
Ketiga pemuda itu kembali menaiki kuda dan memacunya menuju dermaga pelabuhan melewati tepian pantai.
Nampak juga dari kejauhan para kapal-kapal besar yang lalu-lalang di laut lepas. Di pelabuhan juga nampak kapal-kapal yang sedang bersandar bongkar-muat barang dagangan.
"Inilah pelabuhan Surabhaya teman-teman, pelabuhan paling ramai se-Nusantara. Disini lah pintu gerbang Majapahit dengan dunia luar," jelas Wingsang dengan wajah berbinar dan menghentikan kudanya sejenak. Begitu juga dengan Sanja dan mas Naung, cowok itu juga ikut menghentikan laju kudanya.
"Iyee tau kok, kau kira kita sebodoh itu hah? Dari sini Majapahit melebarkan sayapnya sampai seantero Nusantara kan? Di kira kita nggak tau apa yak, gini-gini kita anak jurusan sejarah tau," mas Naung mengiyakan dan sedikit menyombongkan statusnya sebagai mahasiswa sejarah di kampus tempat ia berkuliah.
"Betul tuh, emang ya mas Naung ini the real sejarawan," sahut Sanja.
Wingsang hanya menggaruk-nggaruk kepalanya yang tidak gatal, lagi-lagi mereka berdua berbicara melantur dan membuatnya tidak mengerti.
Pelabuhan itu sangatlah luas, banyak dermaga dengan kesibukan yang berbeda-beda.
Ada dermaga khusus untuk kapal dagang Nusantara, ada dermaga khusus untuk kapal dagang antar benua, ada dermaga untuk angkutan orang yang ingin berlayar, bahkan ada dermaga khusus untuk kapal kerajaan yang siap untuk mengangkut pasukan perang.
"Gusy ayo kita nyari kapal yang siap nganter kita berlayar ke kerajaan Sunda Galuh," ajak Sanja.
"Eeett bentar, apa iya kita harus nempuh jalur laut, apa nggak bisa gitu kita lewat jalur darat aja?"
"Shankara benar, ayo kita mencari kapal untuk mengantar kita ke Sunda. Dan asal kau tahu saja Manggala, jalur laut jauh menghemat energi, waktu dan biaya. Sebagai prajurit, menghemat energi jauh lebih penting daripada memilih jalur lain yang belum tentu hasilnya dan penuh resiko," kali ini Wingsang yang menjawab
Wingsang mencoba menjelaskan kepada mas Naung agar mereka tidak membuang-buang waktu dan tenaga mereka di perjalanan nanti.
"Karena dalam perjalaanan ini, kita tidak tau bagaimana sambutan dari kerajaan Pasundan nanti, apakah mereka bisa menerima kita ataukah perang yang mereka tabuhkan untuk kita. Jadi dalam hal ini menghemat energi jauh lebih baik," lanjutnya.
"Tapi apa gunanya kakek guru ngasih kita kuda ini? Apa gunanya kakek ngasih kita keris untuk senjata, apa gunanya kakek ngasih kita uang yang cukup banyak kalau kita cuma diem sambil santai-santai di dalam kapal?" Tanya mas Naung.
"Apapun resiko diperjalanan nanti, baik itu rampok, penguasa lokal, bahkan sungai besar tanpa jembatan pun aku siap menghadapi. Karena kan perjalanan ini perjalanan pengembaraan," lanjut mas Naung menjelaskan dengan nada tegas.
"Iya juga sih," jawab Sanja yang mulai terhasut dengan perkataan mas Naung. Namun disatu sisi ia juga merasakan takut jika harus menghadapi rampok, begal ataupun sejenisnya.
"Baik kalau itu mau kalian, aku sebagai sahabat dan orang yang ditugaskan Mpu guru untuk mendampingi kalian, siap untuk selalu ada dalam perjalanan ini," jawab Wingsang sembari menganggukan kepalanya.
Mendengar kata 'sahabat' terucap dari bibir Wingsang, mas Naung langsung menatap Wingsang dengan tatapan jahil.
"Cieee yang udah ngakuin kita jadi sahabaat, ekhem," goda mas Naung.
"Kesambet apa niih tadi di jalan," sambung Sanja kemudian.
Wingsang langsung tersadar dan memalingkan wajahnya.
"A-Apa maksud kalian? Si-Siapa juga yang bilang seperti itu? Telinga kalian sedang bermasalah itu, aku tidak mengatakan apa-apa," jawab Wingsang terbata-bata sembari masih menahan gengsi dan malunya.
"Sudahlah, ayo kita lanjutkan saja perjalanan ini!" Pemuda itu memacu kudanya terlebih dahulu meninggalkan mas Naung dan Sanja.
"Masih gengsi dia Ja ngakuin kita sahabat," ucap mas Naung kepada Sanja.
"Yoi mas," jawab Sanja.
Setelah puas meledek dan membicarakan Wingsang mereka berdua kemudian menyusulnya dari belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Get Lost In The 14th Century [END].
Historical Fiction⚠️[JANGAN LUPA KASIH VOTE]⚠️ Pernahkah kamu mendengar mitos tentang dimensi lain? Atau pernahkah kamu mendengar cerita tentang orang tersesat di sebuah dimensi lain yang mengandung banyak sejarah? Mungkin semua ini terdengar seperti mitos belaka...