Setelah pertemuan dengan gadis kerajaan beberapa waktu lalu, pikiran Kivan di penuhi dengan wajah teduh nan ayu gadis itu. Bukan hanya itu saja di telinganya terus menggema suara lembut dari perempuan yang ia temui beberapa waktu lalu.
"Van, kamu kenapa? Dari tadi aku liat kamu ngelamun terus, ada masalah kah?" Tanya Janu.
Kivan hanya menggelengkan kepalanya, ia lepaskan sejenak seragam prajurit yang ia kenakan, lalu tanpa menjawab Kivan melenggang pergi. Sikap Kivan yang seperti itu membuat Sanja dan Janu bingung.
"Dia kenapa mas? Kita lihat-lihat semenjak kalian pergi nyari cemilan, si Kivan kayak banyak ngelamun, kalian berdua habis ketemu siapa dan habis ngapain?" Tanya Janu kepada mas Naung.
"Ho'o, apalagi kamu mas, dateng-dateng babak telur gitu. Habis ketemu siapa sih kalian sebenernya kemarin?" Tanya Sanja menimpali.
"Bego! Babak belur kali. Babak telur- babak telur apaan," sahut Janu kesal dengan lawakan Sanja.
"Ya itu maksudku," jawab Sanja.
Mas Naung hanya diam tak menanggapi pertanyaan dan celotehan Sanja serta Janu, matanya masih menatap kepergian Kivan.
Sementara itu Kivan berjalan kearah sungai, entah mengapa kakinya ingin dia pergi menemui Wingsang.
"Ck, kemana sih tuh anak. Giliran nggak di butuhin aja nongol dia. Lagian kenapa juga aku tiba-tiba pengen curhat sama dia? Sokab banget aku kesannya," gerutunya.
Setelah lama mencari keberadaan Wingsang akhirnya ia menemukan pemuda itu tengah brtlatih di atas bebatuan sungai.
Sembari menunggu temannya berlatih, Kivan duduk di salah satu bebatuan disana. Sepuluh menit kemudian Wingsang akhirnya selesai berlatih.
Dari kejauhan pemuda itu melihat Kivan yang tengah duduk diatas batu dan tertidur dalam posisi duduk.
"Kusuma? Sudah berapa lama anak itu berada disana, dan ada keperluan apa dia sampai menunggui ku berlatih?" Gumam Wingsang. Tanpa membuang-buang waktu lagi pemuda itu akhirnya menghampiri cowok berdimple tersebut.
"Kusuma, hei bangun. Ada urusan apa kau kemari?"
Karena tak kunjung bangun maka terpaksa pemuda itu membangunkan Kivan dengan cara menggoyang-goyangkan badannya sedikit, karena tidak bisa menjaga keseimbangan laki-laki itu tercebur kedalam air.
"BISA NGGAK SIH BANGUNINNYA YANG KALEMAN DIKIT! INI NGGAK, MAIN JOROKIN AJA! BASAH KAN JADINYA NIH BAJU, AH ELAH!"
"Berlebihan," jawab Wingsang dengan wajah dan nadanya yang congkak.
"BERLEBIHAN PALA MU PEANG!"
"Aku hanya menggoyangkan tubuh mu perlahan. Kau saja yang terlalu lemah dan cengeng. Menghadapi pasukan musuh di Banggai saja kau ketakutan begitu dan sampai bersujud sambil menangis," jawab Wingsang.
"Kok, tau? Kan kamu nggak ada disana pas perang itu."
"Sial, aku tidak sengaja mengatakan hal yang seharusnya tak ku katakan kepada bocah ini," kata Wisang yang sedang merutuki dirinya di dalam hati.
"Woy! Jawab anjir, kau kan nggak daftar jadi prajurit. Darimana kau tau soal itu?"
"A-Eem i-itu. Apa kau lupa, beberapa teman kita yang satu perguruan ada yang lolos ujian seleksi keprajuritan, beberapa dari mereka yang ikut perang itu menceritakannya padaku. Kau kira satu-satunya yang ikut dalam perang itu hanya kau saja ha?"
"Oh iya ya, hehe lupa."
Kivan lalu berusaha naik kembali ke atas batu dan kembali duduk diatasnya.
"Kau tidak ada giliran berjaga di istana?"
"Udah semalem sampe jam 5 pagi. Suntuk kalau harus disana dan melakukan hal yang sama tiap harinya."
"Lalu ada urusan apa kau kemari sampai-sampai harus menunggui ku berlatih?"
"Nggak tau nih pengen banget curhat,"
"Maksudnya?"
"Ck, pengen ceritaaa."
"Tentang?" Wingsang mulai penasaran, ia pun akhirnya ikut duduk di batu yang sama dengan Kivan, kebetulan sekali batu yang mereka duduki itu lumayan besar dan lebar.
"Beberapa waktu lalu pas aku sama yang lainnya di kasih kelonggaran jaga dan patroli, aku nggak sengaja nabrak gadis cantiikk banget. Ngomongnya juga enak di telinga, sopan aja gitu suaranya."
"Lalu?"
"Terus makanan yang dia beli jatuh. Nah karna nggak enak aku ganti dong, sekalian menghambur-hamburkan upah dari hasil menjadi prajurit."
Wingsang masih menyimak.
"Terus aku temenin jalan-jalan di sekitaran Trowulan, aku temenin dia beli kain, beli beberapa sayur mayur juga. Nah tiba-tiba ada wanita paruh baya yang ngira kalau aku mau jahatin tuh cewek. Ibu-ibu itu nggak tau kalau aku prajurit, nah terus ibu itu manggil si cewek dengan sebutan nyimas. Nah kaget kan ternyata tuh cewek seorang putri raja."
Wingsang menggaruk-nggaruk kepalanya, ia sedikit tak paham dengan kosakata yang digunakan oleh Kivan.
"Ck, intinya gadis yang aku temuin itu seorang putri raja," jelas Kivan menggunakan nada kesal. Sepertinya ia bisa membaca raut wajah Wingsang yang sedang berusaha mencerna kata-katanya.
"Udah mah aku main gandeng aja lagi," lanjutnya.
"Kurang ajar sekali bocah satu ini," ejek Wingsang sembari terkekeh.
"Yeu kan aku nggak tau kalau dia putri raja, tapi sehabis itu langsung minta maaf kok."
"Lalu apakah dia menerima permintaan maaf mu?"
Kivan menganggukan kepalanya.
"Beruntung sekali kau. Kalau aku yang menjadi gadis itu, aku tidak akan memaafkan mu dengan mudah," ejek Wingsang kembali sembari tertawa.
Kivan tak menanggapi ejekan Wingsang, ia mulai memasang wajah cemberutnya.
"Masalahnya sehabis ketemu dia, pikiran aku jadi ke dia terus, selalu kebayang wajah teduh nan ayunya dia, suara dia yang lembut, perilakunya yang santun. Kayaknya... Aku suka deh sama gadis istana itu."
Mendengar pengakuan temannya, Wingsang langsung berdiri marah.
"Bodoh! Ingat kau hanya prajurit biasa. Seberapa keras kau berusaha mendekatinya itu akan sia-sia!" Pekiknya.
"Beda kasta ya? Heemm, kalau di inget-inget lagi kita juga beda zaman, beda agama pula," keluh Kivan di dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Get Lost In The 14th Century [END].
Historical Fiction⚠️[JANGAN LUPA KASIH VOTE]⚠️ Pernahkah kamu mendengar mitos tentang dimensi lain? Atau pernahkah kamu mendengar cerita tentang orang tersesat di sebuah dimensi lain yang mengandung banyak sejarah? Mungkin semua ini terdengar seperti mitos belaka...