Lembar 35 || Kota Kakek Moyang Sanja.

61 33 80
                                    

Sembari kuda yang mereka tunggangi berjalan Sanja terus membatin.

"Mas, bener kata kakek tadi, sepanjang perjalanan kita nggak liat perkampungan sama sekali, bahkan seorang yang lewat pun nggak ada. Mungkin inilah mitos keangkeran Alas Roban, jalan disini juga udah hampir ketutup semak belukar karena sangking jarangnya dilewatin orang," bisik Sanja ke mas Naung.

"Hooh, kok aku agak merinding ya Ja," jawab mas Naung.

"Manggala, Shankara, kalian sedang membicarakan apa?" Tanya Wingsang

"Ha? Ng-Nggak, kita cuma lagi ngobrolin soal kata-kata kakek tadi. Sepanjang perjalanan kita nggak ketemu sama perkampungan sama sekali. Kalaupun ada perkampungan, itu pasti sekelompok orang yang hidup nggak menetap dan pindah-pindah dengan mengandalkan berburu sebagai sumber makanannya. Karena sepanjang perjalanan yang kita lewati nggak pernah tuh nemuin bekas-bekas ladang pertanian," jawab Sanja menjelaskan.

"Yaa, kalian benar sekali."

Setelah kuda mereka berjalan cukup lama sampailah mereka di sebuah Pantai dengan tebing yang khas dan sudah tak asing lagi bagi Sanja.

"Kok aku kayak kenal sama pantai ini yak," ucap Sanja sembari mengamati sebuah tebing pantai yang menjorok ke laut.

"Apa maksud mu Shankara? Apakah kau pernah berkunjung kesini?" Tanya Wingsang yang mendengar ucapan Sanja.

"Nggak salah lagii, ini pantai Ujung Negoro, Batang," jawab Sanja dengan mengangguk-anggukan kepala.

"Kok tau Ja? Kamu pernah kesini kah? Aku aja yang udah hampir lulus tapi nggak jadi, belum pernah main ke pantai yang ini," kata mas Naung yang juga keheranan.

"Tau lah mas, mama ku kan lahir disini otomatis moyang ku juga asli orang sini, dan tiap lebaran saudara-saudara ku selalu ngajak ke pantai ini," jawab Sanja.

"Pantai Ujung Negoro?" Sahut Wingsang.

"Yoi Wing, yuk lah kita lanjutin perjalanan," jawabnya sembari memacu kudanya menjadi lebih cepat, di ikuti oleh mas Naung dan juga Wingsang.

Setelah memacu kudanya lumayan lama, akhirnya Sanja memutuskan untuk berhenti di tengah-tengah sebuah hutan.

"Shankara, aku ingin bertanya sedikit pada mu, m-memangnya apa saja yang kau ketahui tentang tempat ini?"

"Yang aku tahu yaa, daerah ini rame sama motor, mobil, dan warung-warung makan Wing," jawab Sanja menjelaskan.

"Shankara, Manggala sebenarnya kau dan kedua teman mu itu dari negeri yang bagaimana?"

"Kita tinggal di negeri yang namanya Indonesia, kita tinggal di negeri yang dimana udah ada teknologi, listrik, mobil, sepeda motor, dan angkutan umum. Bisa di bilang mobil dan motor ini sama seperti kuda atau pedati milik sendiri, tapi nanti mobil sama motor ini nggak di tarik sama kuda atau hewan lainnya lagi, tapi pakai mesin. Ya gitu deh Wing singkatnya," jawab Sanja menjelaskan.

"Jadi negeri yang di ceritakan oleh Kusuma itu benar adanya?" Batin Wingsang.

"E-Eemm berarti semua yang di ceritakan oleh Kusuma itu benar?" Tanya Wingsang memastikan.

"Emangnya dia cerita apa aja?" Tanya mas Naung.

"Sama seperti yang di ceritakan oleh Shankara."

"Yap benar Wing, bahkan nama kami yang kamu tau selama ini tuh nama pemberian kakek mpu," jawab mas Naun.

"Pantas saja bahasa serta kosakata yang kalian gunakan terdengar asing dan aneh di telinga ku," jawab Wingsang.

Saat Sanja dan mas Naung tengah menjelaskan semua kebingungan Wingsang, tiba-tiba terdengar suara yang menggema di telinganya.

"Nak Shankara, cepatlah lanjutkan perjalanan mu. Ada seseorang yang sudah menunggu dan ingin sekali bertemu dengan mu."

Suara yang menggema itu hanya bisa didengar oleh Sanja dan mas Naung.

"Siapa Ja?" Bisik mas Naung kepada Sanja.

"Nggak tau,'' jawab Sanja dengan berbisik juga.

"Kalian berdua ada apa?" Tanya Wingsang.

"Ha? E-Enggak nggak apa-apa."

"Ya sudah ayo kita lanjutkan perjalanan kita,'' kata Wingsang, ia lalu berjalan dan menaiki kudanya terlebih dahulu, lalu kemudian di ikuti oleh mas Naung.

"Kok aku tiba-tiba kepikiran buat nancepin keris pemberian kakek mpu ini ke watu ireng yak? Yaudah lah aku tancepin aja buat bukti kalau suatu saat pas aku dan temen-temen balik ke masa depan kalau semua yang kita berempat alemin ini bener-bener nyata," gumam Sanja sembari memandangi keris tersebut.

"Hei Shankara ayo cepat jangan membuang-buang waktu. Mengapa kau melamun?" Tanya Wingsang yang masih menunggu Sanja diatas kudanya.

"Iya niih, ayo cepetan Ja," sahut mas Naung yang sudah berada di atas kuda juga.

Sanja menoleh ke arah Wingsang dan mas Naung, ia memasukan keris itu dan melajukan kuda yang ia tunggangi, di ikuti oleh Wingsang serta mas Naung menuju Watu ireng di kecamatan Lebak Barang.

Get Lost In The 14th Century [END].Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang