Lembar 6 || Dunia Baru.

110 22 0
                                    

"Woy Sanja udah bangun"

Suara dari mas Naung menganggu lelapnya Sanja, jantung cowok itu kembali berdetak bahkan sangat cepat iramanya, napasnya kembali berhembus dengan tersengal-sengal.

Mereka berempat sempat merasakan detak jantungnya yang sempat tidak berdetak dan jiwa mereka melayang-layang entah kemana.

"Akhirnya nih anak bangun jugaa," sahut Janu.

Tepat setelah ia membuka matanya ia melihat sesosok siluet kakek-kakek yang ia lihat saat masih berada di atas gunung, hal itu membuatnya ketakutan kembali.

"WAAA! SETAAANN! PERGI LO SETAN PERGII! JANGAN GANGGU KITA" Histerisnya lagi.

"Woy woy tenang dulu jaa tenaaang," kata Kivan mencoba menenangkan Sanja.

"TENANG GIMANAA?! DIA KAN SOSOK SETAN YANG KITA BERTIGA LIHAT VAANN!"

"Ja bisa tenang dulu nggak?"

Mendengar nada bicara mas Naung yang terdengar ketus, akhirnya Sanja pun terdiam.

"Terus ini k-kita ada dimana? K-Kita ada dimana nih? Apa iya kita udah mati?" Tanya Sanja sembari membenarkan posisinya menjadi duduk sempurna dan bersandar pada dinding batu yang berada di belakangnya.

"Belum nak, kalian masih ada di dunia yang sama, kalian hanya pingsan sejenak untuk melepaskan beban-beban yang ada di pikiran, dan mulai saat ini kalian akan menemukan sesuatu hal yang tak akan kamu lupakan serta hal-hal yang belum pernah kalian temui sebelumnya di dunia kalian yang baru ini," ucap kakek itu dengan nada bijaksana.

Sosok kakek itu mendekati mereka, sejujurnya saat mas Naung, Kivan dan Janu terbangun lebih dulu, mereka hanya bisa melihat siluet dari sang kakek yang berada di mulut goa, tapi kini akhirnya mereka sudah bisa melihat jelas sosok kakek itu.

Sosoknya tua renta, wajahnya yang keriput dan berjenggot, serta kumis dan rambutnya yang sudah terlihat putih semua dan hidungnya yang mancung seakan mengisyaratkan bahwa beliau adalah keturunan dari daratan India.

Sikapnya yang tenang menunjukan bahwa beliau adalah seorang pertapa.

Sanja hanya terdiam dan terkesima begitu mendengar suara dari sosok kakek tersebut

"Vibes kakek ini kenapa keliatan tenang banget yak, suaranya juga lembuutt banget, kayak seolah-seolah beliau ini ngejalanin tapa, ah tapi masa iya di zaman modern gini masih ada orang bertapa di goa-goa yang ada di lereng gunung gitu," kata Sanja dalam hati dan penuh keheranan.

"Bertapa adalah salah satu cara untuk menemukan ketenangan batin yang hakiki, tidak perduli ia ada di zaman modern atau tidak," jawab kakek itu yang seolah bisa mendengar bisikan di dalam batinnya.

Jawaban dari kakek itu membuat Sanja terkaget-kaget.

"Anjir, kakek kok bisa tau apa yang saya omongin di dalam hati?" Tanya cowok itu.

"Emang kamu ngomongin apa di dalem hati?" Bisik Janu.

Dengan memberanikan diri Kivan pun ikut bersuara dengan bertanya kepada kakek tersebut.

"Nyuwun pangapunten mbah sakderenge kula badhe nderek tangklet, asmanipun njenengan sinten nggeh? Lan... L-Lan dalemipun njenengan pundi?" Tanya nya dengan terbata-bata serta dengan bahasa krama yang ia tahu dan kuasai.

[Mohon maaf sebelumnya kek saya mau tanya, nama kakek siapa ya? Dan D-Dan darimana kakek berasal?]

"Aku Mpu Sasora, aku ada disini memang untuk semedi dan aku sudah ada disini jauh sebelum kamu lahir nak. Suatu saat kamu akan tahu siapa aku yang sesungguhnya," jawab beliau dengan tenang dan penuh kelembutan.

Mendengar penuturan dari sang kakek membuat Kivan, mas Naung, Sanja dan Janu yakin kalau sang kakek bukan lah orang biasa, tidak mungkin tinggal di dalam goa begitu lamanya tanpa ada persediaan makanan.

"Luar biasa," puji Kivan dalam hati.

"Biasa atau luar biasa itu tergantung dari diri kita sendiri, jika kalian melakukan segala sesuatu dengan penuh keyakinan, maka kalian dapat mengubah dari yang awalnya tidak mungkin menjadi mungkin," jelas Mpu Sasora dengan penuh bijaksana serta disertai dengan sunggingan senyum yang merekah di wajahnya.

Aneh sekali memang beliau mengetahui kata-kata yang Sanja dan Kivan gumam kan di dalam hatinya, seakan kakek itu mengetahui semua tentang dirinya.

"Nak Kivan, nak Sanja, nak Janu, nak Naung, sekarang sudah saatnya kalian turun gunung, untuk menjalani hari-hari kalian yang baru," seru Mpu Sasora.

"Kek, bagaimana kakek tau nama kami?" Tanya mereka berempat hampir bersamaan dan terheran-heran.

"Aku tahu semua tentang apa yang kalian tahu, bahkan semua yang belum kalian ketahui, dan mulai sekarang nama kalian akan kakek ganti."

"Untuk nak Kivan, nama mu akan kakek ganti menjadi Kusuma Wisnukancana. Untuk nak Janu, nama mu sekarang adalah Mahanta Parikesit. Sementara itu nama baru untuk nak Naung adalah Abinawa Manggala, karena kamu merupakan pemimpin atau pemandu bagi teman-teman mu maka kakek sematkan nama Manggala di belakangnya."

"Lalu untuk nak Sanja, nama baru nak Sanja adalah Shankara Adiwangsa. Nama-nama itu memilik arti yang sangat baik untuk kalian," lanjut Mpu Sasora.

"Baik kek, kita mengerti, terimakasih juga atas nama barunya," jawab mas Naung sebagai perwakilan

"Jadi tunggu apalagi nak, segeralah turun dan melangkah lah di dunia kalian yang baru," perintah Mpu Sasora.

"Baik kek, kami akan pergi. Sekali lagi terimakasih atas semuanya, kita pamit ya kek," jawab mas Naung lagi.

Tanpa dikomando lagi mas Naung, Kivan, Sanja dan Janu pun segera keluar dari goa tersebut.

"Alhamdulillah, akhirnya kita bisa menghirup udara seger lagiii!" Ujar Kivan sembari merentangkan tangannya tinggi-tinggi dan sambil menghirup udara di luar goa banyak-banyak, di ikuti dengan Janu dan Sanja.

Keempat pemuda itu pun melangkah kan kakinya kembali dengan semangat guna menyusuri jalan untuk turun.

Entah berapa lama cowok-cowok itu tak sadarkan diri dan terbaring tak berdaya, tapi yang pasti mereka tak merasakan sakit lagi setelah terjatuh dari jurang yang dalam itu.

Mereka mengecek kembali tubuh masing-masing, tidak ada satupun bekas luka di tubuh mereka.

"Eh ges betewe kok tubuh kita bersih? Bukannya kita berempat habis jatuh ke jurang yak?" Tanya Sanja setelah menyadari kalau tubuhnya bersih tidak ada luka.

"Iya ya, harusnya ada luka dong di tubuh kita?" Tanya Janu menimpali.

Mereka berempat sama-sama merasa bahwa semua yang mereka alami hanyalah sebuah mimpi buruk belaka, agak sedikit janggal memang, tapi inilah yang ia rasakan sekarang.

"Ah bodo lah, yang penting kita sekarang bisa pulang dengan selamat," jawab mas Naung sambil terus menyusuri jalan setapak dengan penuh suka cita.

Semakin jauh kaki mereka melangkah, mereka semakin merasakan ada yang aneh dengan jalan yang di lewatimya.

Rasanya jalan tersebut tidak seperti jalan yang mereka lewati saat mendaki ke puncak. Sanja yang paling muda juga merasa hutannya menjadi sangat lebat, bahkan sejauh mata memandang ia tak melihat sampah plastik satu pun.

Get Lost In The 14th Century [END].Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang