Lembar 10 || Berjalan-jalan Di Ibu Kota Majapahit.

85 24 3
                                    

"Waah, uang dari negeri mana ini kok saya baru melihat mata uang yang seperti ini? Kisanak-kisanak ini dari negeri mana kalau boleh saya tau?"

Mereka berempat terdiam sejenak, bingung harus menjawab bagaimana. Cukup lama mereka berpikir dan pada akhirnya Kivan yang mewakili menjawabnya dengan cengiran, melihat jawaban Kivan sepertinya pak Sutarjo mengerti.

"Baiklah kalau kisanak tidak berkenan memberitahu darimana kisanak berasal."

Mereka berempat hanya tersenyum dan menganggukkan kepala.

"Ngapunten nggeh pak, tapi percaya sama saya kalau uang yang saya berikan ke bapak pasti sangat mahal sekali dan barang-barang yang saya berikan itu juga mungkin akan berguna buat bapak di rumah."

[Maaf ya pak]

"Baiklah, terimakasih untuk hadiahnya. Hati-hati kisanak disini ramai orang lalu lalang dan pasti ada orang yang bukan dari sini juga. Bisa saja salah satu diantara banyak nya orang di sini adalah seorang musuh yang mungkin sedang menyamar," ujar pak Sutarjo memperingatkan.

"Nggih pak maturnuwun sampun diperingatkan."

[Iya pak terimakasih sudah diperingatkan.]

"Tapi ngomong-ngomong kisanak-kisanak ini bukan seorang musuh yang sedang menyamar atau seorang mata-mata kan?"

"Nggak lah pak, masa orang ganteng kayak kita mata-mata. Emangnya kenapa pak? Apa penampilan kita keliatan kayak spy ya?"

"S-Sepai? Apa itu kisanak?"

"Spy itu mata-mata pak, ah bapak ini nggak gaul banget deh."

Kivan membuat pak Sutarjo semakin kebingungan, terlihat beliau yang tengah berpikir dan sesekali menggaruk-nggaruk kepalanya karena tidak bisa menangkap apa yang dimaksud anak muda dari masa depan yang bersamanya saat ini.

"Maaf kisanak, saya tidak mengerti apa yang kisanak bicarakan."

"Iya deh pak. Eh apa bapak berpikir kita ini seorang mata-mata?"

Pak Sutarjo mengangguk.

"Maaf, tapi pakaian dan cara bicara kisanak-kisanak ini yang terdengar asing membuat saya berpikir seperti itu. Apalagi melihat barang dan uang yang kisanak tadi berikan membuat saya semakin merasa curiga."

Mereka berempat mengangguk mengerti.

"Tenang pak, di jamin 100% kita bukan seorang mata-mata. Kita berempat ini lahir dan besar di tanah ini juga."

"Syukurlah kalau begitu, sekali lagi hati-hati ya kisanak. Semoga sang hyang widhi selalu bersama serta melindungi kisanak-kisanak ini dari bahaya. Baiklah, sepertinya saya harus segera melanjutkan perjalanan kembali."

"Loh tujuan bapak bukan ke Trowulan juga?" Tanya Janu.

"Bukan kisanak."

"Walahh berarti bapak ke sini cuma mau anterin kita aja? Jadi ndak enak kita pak," jawab mas Naung.

"Ah tidak apa-apa, ya sudah saya permisi melanjutkan perjalanan. Sekali lagi terimakasih untuk uang dan barang yang kisanak berikan. Saya harap di lain kesempatan kita bisa di pertemukan kembali, mari," ucap pak Sutarjo yang berpamitan dan mulai berjalan menjauhi mereka berempat.

Keempat pemuda itu melambaikan tanganya ke arah pak Sutarjo.

"Hati-hati pak, sekali lagi terimakasih!"

Setelah berpisah dengan pak Sutarjo, mereka berempat kembali melanjutkan langkahnya.

Di sepanjang jalan kepala keempat pemuda itu tak henti-hentinya menengok ke kanan dan ke kiri, jiwa petualangnya kembali membuncah. Entah mengapa keinginan untuk pulang mereka lupakan sejenak.

Banyak mereka lihat penduduk pribumi maupun pedagang dari luar daerah yang berlalu lalang. Keempat pemuda itu berjalan dengan senangnya, namun mereka sedikit merasa risih dengan pandangan orang-orang yang menatapnya aneh.

"Kenapa dah? Tadi di warung kita juga di tatap kayak begini. Apa bener yak kata pak Sutarjo tadi soal cara berpakaian kita yang keliatan beda di zaman ini? Apa justru sebaliknya, mereka natap kita karena terpesona sama pesona kita yang ganteng, putih, dan badan kita yang tinggi?" Celetuk Kivan.

"Apalagi aku kan, aku punya dimple juga tuh ya kaan, orang-orang di sekitar pada bilang kalau aku ini pangeran lesung pipi," lanjutnya dengan sangat percaya diri.

"Dih najis narsis amat nih anak yak, mana ada yang bilang begitu," kesal mas Naung sembari menoyor kepala Kivan dan tertawa, sementara teman-temannya yang lain hanya tertawa.

Apapun yang orang-orang sana pikirkan tentang mereka, tidak terlalu mereka ambil pusing. Justru Kivan, mas Naung, Sanja dan Janu senang sekali bisa diberi kesempatan oleh Tuhan untuk membangkitkan kembali jiwa berpetualangnya.

Namun saat tengah asik melihat-lihat suasana di sekitar, dari kejauhan mereka melihat beberapa prajurit berduyung-duyung menghampiri.

Get Lost In The 14th Century [END].Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang