Lembar 31 || Tuban.

38 15 0
                                    

Setelah meninggalkan Surabaya mereka melewati perjalanan yang cukup menantang, jalan yang sepi dan hutan yang masih belantara, bahkan beberapa sungai tanpa jembatan yang harus mereka berdua seberangi.

Namun mereka bertiga tak pernah gentar sedikit pun, mereka tetap terus memacu kuda dengan semangatnya, tak jarang mereka juga melewati kebun, sawah, ladang dan perkampungan penduduk yang cukup ramai dan ramah.

Bahkan mereka juga melewati jalan yang cukup lebar dan banyak lalu lalang pedati perniagaan dan juga patroli dari prajurit kerajaan.

Hingga mereka bertemu muara sungai yang cukup luas yang tak mungkin di seberangi dengan tangan kosong.

Namun di tengah kebingungan ini, mas Naung melihat beberapa perahu jukung yang siap mengantar para warga yang lalu-lalang untuk menyeberangi sungai ini.

"Maaf pak, apa bisa bapak menyeberangkan kami dan kuda-kuda kami ke ujung seberang sungai ini?" Mas Naung mencoba berkomunikasi dengan bapak-bapak tua pemilik perahu jukung.

"Dengan senang hati kisanak, aku akan mengantar kalian sampai di seberang sana. Karena ini memang sudah menjadi tanggung jawabku." Pemilik jukung itu menyambut ramah.

"Terimakasih paman," jawab Wingsang sambil menuntun kudanya masuk ke jukung itu, di ikuti oleh Sanja dan mas Naung.

"Maaf kalau boleh tau, ini sungai apa yaa pak? Kok sungai ini sangat besar sekali, bahkan lebih besar dari sungai Brantas," tanya Sanja kepada bapak pemilik jukung.

"Ini sungai Bengawan Solo kisanak, sungai ini memang sangat besar dan termasuk sungai yang terpanjang di negeri Majapahit. Karena itulah kota di seberang sana di jadikan kota kabupaten yang maju oleh kerajaan Majapahit dan disana juga terdapat pelabuhan yang cukup besar, karena sungai ini bisa menghubungkan jalur kapal perniagaan menuju wilayah Jawa bagian selatan," jelas bapak itu sambil mengayuh dayung Jukungnya.

"Kalau boleh tau kota apa diseberang sana paman?" Tanya mas Naung dengan nada heran dan penasaran.

"Disana adalah kota kadipaten Tuban kisanak, kotanya Ranggalawe," jawab bapak tua itu singkat.

"Oohh iya aku ingat, Ranggalawe adalah salah satu orang yang berjasa besar atas berdirinya Majapahit, beliau anak dari Arya Wiraraja bupati Songènèb. Beliau diutus ayahnya untuk membantu Raden Wijaya dalam membabat hutan Carik untuk dibangun kerajaan, beliau juga membantu melawan perang Tar-Tar, melawan Mongol dan perang melawan kerajaan Kediri, beliau sangat berjasa besar dalam pembentukan awal kerajaan Majapahit ini," jawab Wingsang.

"Yaa, karena itulah Raden Wijaya menghadiahi wilayah Tuban ini, dan menunjuknya sebagai adipati Tuban. Walau pada akhirnya..." Belum selesai bercerita Wingsa memotong perkataan bapak itu.

"Pada akhirnya apa paman?" Tanya Wingsang menyela penjelasan.

"Pada akhirnya Ranggalawe harus mati sebagai pemberontak," lanjut bapak pemilik jukung itu sambil menundukan kepalanya.

"Kok bisa begitu paman?" Tanya Wingsang lagi, laki-laki itu semakin penasaran.

"Begini ceritanya." Bapak pemilik jukung itu mulai bercerita.

"Ranggalawe bisa memberontak terhadap Kerajaan Majapahit karena dihasut seorang pejabat licik bernama Dyah Halayuda. Pemberontakan tersebut dipicu oleh ketidakpuasan Ranggalawe atas pengangkatan Nambi sebagai rakryan patih. Menurut Ranggalawe, jabatan patih sebaiknya diserahkan kepada pamannya yang dinilai jauh lebih berjasa dalam perjuangan dari pada Nambi."

"Ranggalawe yang bersifat pemberani dan emosional suatu hari menghadap Raden Wijaya di ibu kota dan langsung menuntut agar kedudukan Nambi digantikan oleh pamannya. Namun paman Ranggalawe malah tidak menyetujui sama sekali hal itu dan tetap mendukung Nambi sebagai patih."

Get Lost In The 14th Century [END].Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang