Lembar 3 || Tiba.

108 24 0
                                    

Begitu sampai mereka beristirahat sejenak dan mengurus beberapa perizinan mendaki. Hanya Janu, Sanja dan tentunya mas Naung yang lebih berpengalaman lah yang mengurus.

Sementara Kivan? Ya, dia memanfaatkan kesempatan ini untuk menikmati pemandangan disana. Sudah lama ia tidak mendaki seperti ini, terakhir ia melakukan pendakian saat masih kelas 8 SMP.

"Ngurus gituan mah bagiannya mas Naung. Aku bagian santai aja sambil nikmatin pemandangan yang indah, udah lama nggak ngerasain suasana yang kayak begini," batin Kivan sembari menghirup napas dalam-dalam.

Di sebelah basecamp ada batu besar dan sebelahnya lagi adalah rumah penduduk, sementara itu basecamp yang mereka tuju adalah rumah paling ujung.

"Ya Tuhan, benar-benar luar biasa indah pemandangan ini," gumam Kivan saat ia melihat pemandangan beberapa rumah penduduk dan beberapa hamparan sawah serta kebun yang juga milik seorang warga disana.

Setelah perizinan selesai mereka pun bergegas mendaki menyusuri jalan setapak yang cukup lebar.

Sejujurnya pendakian mereka menuju puncak tidak membutuhkan waktu yang lama, mungkin kurang lebih sekitar lima jam pendakian santai.

Di sepanjang jalan mereka melihat beberapa candi kecil yang ada di buku tempat mereka mencari sumber di perpustakaan kota yang mereka tinggali.

"Itu candi yang ada di buku weh, cepet foto buat dokumentasi."

Bagian dokumentasi adalah bagiannya Kivan, alhasil cowok itu segera memotret bangunan candi tersebut sesuai perintah mas Naung.

Di ekspedisi pendakian mereka kali ini yang menjadi ketuanya adalah mas Naung, orang paling berpengalaman dalam hal mendaki dan berpetualang di hampir setiap kota yang berada di jawa.

"Wah, berarti dulu disini termasuk tempat suci untuk pemujaan nih. Jadi kebayang kalau kita idup di jaman itu, seru pasti kan?" Celetuk Kivan pada teman-temanya.

"Hust, hati-hati kalau ngomong Van. Nanti kalau ada wali lewat bisa-bisa omongan mu jadi kenyataan," sahut Sanja ketakutan.

Sekilas info di rombongan mereka Sanja adalah personil paling muda dan penakut.

"Si Faank dan temen-temenya mau ngadain konser disini Ja?" Sahut mas Naung yang dari nada sepertinya cowok itu sedang menggoda Sanja.

Sanja hanya menggerutu, padahal ia serius mengkhawatirkan keselamatan teman-temanya.

Akhirnya mereka melanjutkan kembali perjalanan guna mencari bangunan peninggalan masa lampau yang lainnya.

Sempat beberapa kali mereka beristirahat sejenak dan mengisi perut mereka yang kembali keroncongan serta menenggak air minum yang mereka bawa.

"Aduuh kaki ku kram niih," keluh Sanja sembari duduk dan menyelonjorkan kakinya.

"Ck, dasar remaja jompo. Olahraga sana!"

Walaupun mengomel Janu berjalan menghampiri Sanja dan mengurut sedikit kaki Sanja yang terasa kram menggunakan minyak urut yang sudah ia siapkan dari rumah.

"Yaelah Lef, maklum lah aku kan baru pertama kali ngedaki gunung begini."

Setelah kaki Sanja sudah lumayan membaik, mereka pun kembali meneruskan perjalanan.

Setapak demi setepak mereka lalui, lalu beberapa jam kemudian akhirnya sampailah mereka di tempat yang di nanti-nanti yaitu puncak gunung Panderman.

Mereka sampai disana pada pukul 04.55 menit dan pada saat itulah mereka menyaksikan sunrise yang begitu memanjakan mata.

"Woah, bagus banget sunrisenya," ujar Kivan penuh ketakjuban.

Perkataanya di setujui oleh ketiga temannya.

"Foto cuy foto, rugi kalu nggak di foto ini mah," kata Janu.

"Padahal aku udah beberapa kali liat dan ngerasain atmosfer ini, tapi tetep aja nggak ada rasa bosen bagi ku," timpal mas Naung, laki-laki itu pun ikut mengabadikan pemandangan sunrise tersebut.

"Bagus siih, TAPI DINGIN BANGET CUUYY! WAARGGHH AKU NGGAK KUAT DINGIIIN!" Keluh Sanja sembari berteriak dan merapatkan jaket tebalnya.

Semua hanya tertawa mendengar keluhan anggota termuda mereka.

Get Lost In The 14th Century [END].Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang