Menembus hutan belantara Jawa bagian tengah memang sangat melelahkan, banyak aral yang melintang. Ancaman dari perampok, hewan buas dan tersesat di dalam hutan selalu mengintai.
Namun dengan tekat yang bulat dan semangat yang kuat tak sedikitpun mereka gentar menghadapinya.
Akhirnya setelah berjalan menembus belantara yang pekat selama berhari-hari, sampailah mereka di tugu perbatasan kekuasaan Majapahit.
Tugu itu nampak tak terawat, letaknya di tengah hutan belantara tepat sebelum mereka menemui sungai besar batas wilayah Sunda Galuh.
Setelah menyeberangi sungai besar itu, lalu tibalah mereka di perkampungan yang cukup ramai.
"Maaf nyisanak, kalau boleh tau ini kampung apa yaa? Sejak menyeberangi sungai Kaliwungu, baru kali ini kita menemukan perkampungan dengan hiruk pikuk keramaian pasarnya yang cukup ramai seperti ini," tanya Wingsang kepada ibu tua pedagang dipasar sembari memesan makanan sebagai bekal perjalanan.
"Karena sepanjang perjalanan beberapa hari ini yang kita temui hanya hutan belantara, kalaupun ada kampung itu hanya perkampungan kecil yang penduduknya mengandalkan hasil berburu dari hutan, hampir tak kami temui pasar ataupun kegiatan perniagaan," lanjutnya.
"Ini daerah Caruban (Cirebon) kisanak perkampungan diujung paling timur kekuasaan negeri Pasundan," jawab ibu itu sembari membungkus makanan yang mereka pesan.
"Wuuiih, berarti ini udah masuk wilayah kerajaan Sunda Galuh dong bu?" Tanya Sanja menimpali, raut wajahnya terlihat sumringah.
"Iyaa kisanak, ini sudah masuk wilayah Sunda Galuh, sungai itu sebagai batas wilayahnya," jawab ibu itu sambil menunjuk ke arah sungai besar disisi timur.
"Jadi kalau mau ke pusat ibu kota kerajaan Sunda Galuh kira-kira masih jauh tidak nyisanak?" tanya Wingsang.
"Kira-kira tujuh hari perjalanan berkuda kisanak, lanjutkan perjalanan kalian menuju barat, terus lurus saja mengikuti jalan ini hingga kalian menemui pelabuhan Sunda Kelapa."
"Disitu kalian akan menemukan keramaian kota Sunda Kelapa, setelah itu pergilah ke arah selatan menelusuri jalan di pinggir sungai Ciliwung hingga sampai di daerah hulu. Disana lah letak ibu kota kerajaan Sunda Galuh kisanak," jawab ibu pedagang makanan itu sembari menunjuk ke arah barat. Lalu memberikan makanan yang mereka pesan.
"Oh baik, terimakasih, ngomong-ngomong berapa bu harganya?" Mas Naung menanyakan harga makanan yang mereka beli dan Wingsang menerima bungkus makanan itu.
"Satu keping saja kisanak," jawab ibu itu.
"Ini bu uangnya," jawab mas Naung sembari memberikan satu keping uang logam.
Setelah membayar mereka melanjutkan perjalanan menuju ke arah barat. Selama perjalanan hampir semua lahan sudah menjadi ladang pertanian, dan juga banyak perkampungan-perkampungan ramai disepanjang jalan menuju Sunda Kelapa.
Ini menandakan penyebaran penduduk di daerah Sunda sudah merata.
Jelas saja, karena wilayah Jawa bagian barat sudah mengenal sistem pemerintahan, tata kota, irigasi dan sistem pertanian yang sudah cukup lama.
Berbeda dengan Jawa Tengah, yang sempat ada kerajaan seperti Kalingga dan Mataram Kuno. Namun kerajaan itu runtuh dan pindah ke Kediri Jawa Timur dan pada akhirnya tanah Jawa Tengah terbengkalai.
Sedang Jawa Timur baru ada sistem kerajaan pada abad ke-12 masehi setelah kerajaan Mataram Kuno pindah ke Jawa Timur mendirikan Kerajaan Kediri.
Ini sebabnya wilayah di Pasundan cenderung lebih maju dan lebih merata penyebaran penduduknya, karena wilayah ini dibangun sejak berabad-abad lamanya.
Hingga akhirnya setelah menempuh perjalanan menyusuri tanah Pasundan, sampailah mereka di pelabuhan Sunda Kelapa.
Pelabuhan yang sangat ramai dan penuh hilir mudik kapal-kapal besar dan kecil.
Lalu perjalanan mereka lanjutkan menuju pusat kota Sunda Kelapa, lalu terus menuju selatan mengikuti aliran sungai Ciliwung menuju pusat ibu kota kerajaan Sunda Galuh.
Dan akhirnya setelah berjalan sekitar dua hari dari kota Sunda Kelapa sampailah mereka di pusat kota kerajaan Sunda Galuh.
Disana sungguh nampak sangat ramai namun tetap sejuk karena lokasinya memang di daerah pegunungan.
Pusat kota itu dibentengi gunung-gunung besar di sebelah selatan yaitu gunung Gede, Gunung Pangrango dan Gunung Salak.
Setelah memasuki gerbang ibu kota, mereka bertiga langsung menuju istana untuk mengantarkan surat dari mendiang Putri Dyah Pitaloka dan mengabarkan apa yang telah terjadi tentang Perang Bubat kepada pihak istana.
Mereka bertiga langsung menghadap Prabu Bunisora adik dari prabu Linggabuana yang gugur dalam perang Bubat.
Prabu Bunisora diberi amanat untuk memimpin kerajaan saat raja Linggabuana beserta rombongan keluarga pergi ke Majapahit.
Karena Pangeran Niskala Wastu Kencana, anak laki-laki prabu Linggabuana —adik Dyah Pitaloka— masih berumur 9 tahun dan belum layak diangkat menjadi raja.
Kelak setelah umur 23 tahun pangeran Wastu Kencana diangkat menjadi raja menggantikan prabu Bunisora.
"Kurang ajar! Pecundang sekali Gajah Mada itu!" Lantang suara Bunisora, seketika amarahnya berapi-api.
Wajahnya memerah marah, kedua telapak tangannya menggengam keras dan bergetar hebat bagai api yang berkobar tak bisa dipadamkan.
"Pengawal, penggal ketiga prajurit Majapahit ini!" Suaranya menggelagar sembari menunjuk ke arah Sanja, mas Naung dan Wingsang, seraya memberi perintah kepada pengawal kerajaan untuk membunuh mereka berdua.
Seketika mereka bertiga terkejut, bagaimana tidak, mereka yang tidak tahu apa-apa dan hanya mengikuti perintah mengapa harus di bunuh?
Para pengawal kerajaan langsung mendatangi mereka dan memegang kedua tangan mereka bertiga.
"Hah, apa-apaan ini woy?! Salah kita apa? Kan kita cuma menjalankan perintah doang kenapa harus di penggal sih? Raja macam apa begini! Nggak-nggak, nggak mau!" Pekik mas Naung sembari sedikit memberontak.
Sanja dan Wingsang terkejut melihat mas Naung yang seperti itu, biasanya laki-laki itu lah yang bisa dibilang paling tenang diantara mereka berdua.
"Kurang ajar sekali cara bicara mu! Cepatlah pengawal, bawa mereka!"
"Nggaaakk, lepasiin kita! Ini nggak adil, sumpah nggak adil banget! Harusnya kalian nyambut kami dengan baik dong wey. Bukan kayak beginii, argh lepasiin! Heh, asal kalian tau yaa. Kami datang kesini tuh nggak gampang tau nggak? Kami mempertaruhkan nyawa kami demi nyampein amanat dari putri raja kalian!"
Mas Naung terus memberontak minta di lepaskan.
"Mas, tenang dulu woy!"
"Manggala tenanglah!" Wingsang dan Sanja kompak meminta mas Naung untuk menenangkan diri.
"Sepertinya aku tidak sependapat dengan mu yang mulia," potong salah seorang resi atau penasihat kerajaan yang sudah sangat tua.
"Keputusan mu untuk memenggal kepala ketiga prajurit Majapahit itu terlalu terburu-buru dan gegabah. Aku mengerti siapapun yang mendengar kabar ini pasti akan marah dan tidak akan terima, tapi ketahuilah bahwa amarah itu harus sejalan dengan apa yang ada di pikiran."
"Bagaimana pun juga, mereka orang kepercayaan dari nyimas Dyah Pitaloka, walaupun mereka orang Majapahit, namun mereka telah mengorbankan waktu, tenaga bahkan siap mempertaruhkan nyawanya demi mengantarkan amanat dari nyimas Dyah Pitaloka."
"Pertimbangkan lah lagi titah mu itu yang mulia," lanjut resi tersebut memberi saran.
"Kau benar resi, terimakasih sudah menenangkan ku, pengawal penjarakan mereka!!" Suara Bunisora kembali menggelegar memerintahkan pengawal untuk menyeret mereka berdua ke penjara.
"Arrgghh nggaakk! Ini tetep nggak adiil, errgghh lepasiin! Kalian harusnya berterimakasih dong sama kita, kita ini bukan penjahat. Harusnya nggak begini balasan kalian!!" Mas Naung terus memberontak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Get Lost In The 14th Century [END].
Historical Fiction⚠️[JANGAN LUPA KASIH VOTE]⚠️ Pernahkah kamu mendengar mitos tentang dimensi lain? Atau pernahkah kamu mendengar cerita tentang orang tersesat di sebuah dimensi lain yang mengandung banyak sejarah? Mungkin semua ini terdengar seperti mitos belaka...