Lembar 33 || Sampai Di Kampung Gelagah Wangi (Demak).

34 15 0
                                    

Perjalanan mereka terus berlanjut melewati banyak wilayah yang beraneka ragam budaya dan sejarahnya. Setelah melewati Rembang mereka bertiga juga melewati Pati, Kudus dan wilayah rawa-rawa.

"Wilayah apa ini, kenapa jarang ada perkampungan disini?" Wingsang kembali penasaran dengan apa yang dilewatinya, karena sepanjang perjalanan dipenuhi rawa-rawa.

Mas Naung dan Sanja mengangkat bahunya.

"Nggak tau kalau yang ini mah, yang ku liat disini cuma ada rawa-rawa nggak berpenghuni," jawab mas Naung.

"Tumben mas nggak tau? Biasanya kan mas kayak ensiklopedia berjalan," sahut Sanja sembari terkekeh.

Wingsang dan mas Naung pun hanya bisa menggerutu sambil tetap menunggang kuda dengan dengan ritme jalan yang pelan, pasalnya jalan yang mereka lewati banyak lumpur yang membelah rawa.

Hingga akhirnya mereka menemukan beberapa rumah yang membentuk perkampungan kecil di tengah hutan.

Mereka pun menghampiri salah satu warga yang ada disana.

"Maaf kek kalau boleh tau ini kampung apa ya?" Tanya Wingsang kepada seorang kakek yang sedang menanam sayuran di pekarangan rumahnya, tiga laki-laki gagah itu turun dari pelana kuda yang di tungganginya.

"Ini kampung Gelagah Wangi kisanak, tapi kami menyebutnya kampung kecil yang damai," jawab kakek itu sembari mendekat ke arah mereka.

"Kalau kalian mau mari mampir ke rumah kami, istirahatlah sebentar di kampung kami ini." Kakek itu menawarkan mereka untuk singgah.

"Ooohh terimakasih kek, kita sangat senang sekali," jawab Sanja sembari nyengir dan berjalan menuntun kudanya memasuki halaman rumah kakek itu, begitu juga dengan Wingsang dan mas Naung.

Sesampainya di halaman si kakek, mereka bertiga segera mengikat kuda mereka di sebuah pohon yang tak jauh dari rumah si kakek.

"Silahkan duduk kisanak," ucap kakek itu mempersilahkan mereka untuk duduk di bangku bambu di depan rumahnya.

Tak lama kemudian kakek itu meminta istrinya untuk membuatkan mereka segelas air wedang hangat rebusan rempah-rempah.

"Silahkan diminum kisanak," ucap istri kakek itu dengan senyumnya yang khas dengan gigi yang mulai menghilang dari baris gusinya.

"Terimakasih banyak nek, maaf sudah merepotkan," jawab mas Naung dengan sopan.

"Oiyaa kek, kalo boleh kita tau ini wilayah apa ya?" Tanya Wingsang sambil menyeruput wedang hangatnya.

"Ini masih kekuasaan Majapahit kisanak, tapi daerah ini jarang dijangkau oleh pemerintah, karena memang disini jauh dari pusat kota Trowulan," jawab kakek itu tenang dengan wajah yang sudah keriput karena faktor usia.

"Ooo, pantesan jalan disini sangat rusak dan jarang dilewati orang," jawab Sanja sembari manggut-manggut.

Mas Naung menyenggol lengan Sanja pelan agar tidak menghina wilayah tempat tinggal si kakek dan nenek itu, kakek tua itu tersenyum.

"Tidak apa-apa kisanak, memang kenyataanya begitu, karena daerah ini dikelilingi rawa-rawa dan kadang banjir dimana-mana. Tapi kakek yakin, suatu saat di daerah ini akan menjadi pusat keramaian yang akan menyinari seluruh pelosok tanah Jawa," jawab kakek itu dengan wajah yang menerawang jauh keatas.

"Maksud kakek apa? Dan... Dan mengapa kakek bisa begitu yakin?" Tanya Wingsang semakin penasaran.

Lagi-lagi kakek itu tersenyum penuh makna.

"Kakek pernah beberapa kali mendapatkan mimpi bahwa disini kelak akan menjadi pusat pemerintahan kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa, yaitu kerajaan Demak Bintoro. Setelah Majapahit nanti mengalami kemunduran lalu hancur, kerajaan Demak ini yang akan menggantikan kejayaannya."

"Dan melalui mimpi itu, kakek juga mendapatkan sebuah nama dari seorang raja pertama yang akan memerintah kota Demak itu, nama rajanya adalah Raden Patah yang masih keturunan raden Brawijaya, raja terakhir Majapahit."

"Jadi kakek mempunyai firasat kalau mimpi yang kakek terima itu akan menjadi kenyataan?" Tanya Wingsang lagi.

Iya kakek yakin daerah ini kelak akan menjadi daerah yang menggantikan kejayaan kerajaan Majapahit," jelas kakek itu dengan ramalannya yang sangat akurat.

"Terimakasih atas penjelasannya kek, kami yakin apapun yang akan terjadi nanti itu pasti yang terbaik buat kita semua, khususnya masyarakat Jawa," jawab mas Naung mengiyakan ramalan si kakek.

"Baik, kalo begitu kami pamit dulu kek, sudah cukup lama kami disini untuk menumpang istirahat. Terimakasih banyak atas semuanya," pamit Wingsang, lalu mereka kembali meneruskan perjalanannya.

Dan tentunya setiap langkah dalam perjalanan mereka bertiga ini akan berisi pembelajaran baru tentang sejarah dan kehidupan di tanah Jawa.

Get Lost In The 14th Century [END].Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang