8. Pemuda Non Muslim

90 14 152
                                    


"Setiap manusia memiliki berbagai macam perbedaan, tetapi tidak semua perbedaan dapat menyatukan."

~ Jingga Senjana ~


Senjana tengah mengenakan sepatu tali di depan pintu rumah. Ia menatap ayahnya yang sudah keluar dari rumah, tengah memanaskan motor.

"Ayah hari ini mengantarku tidak?" tanya Senjana.

"Iya, buruan pakai sepatunya!" teriak ayahnya.

"Iya, Ayah!" seru Senjana. Selesai memakai sepatunya, ia menghampiri ayahnya, lalu naik ke atas motor. Ayahnya mulai menjalankan mesin motor, keluar dari rumah mess. Rumah mess itu adalah rumah di dalam pabrik. Senjana tinggal di dalam mess sejak usia tiga tahun hingga saat ini.

Lima belas menit kemudian, mereka sampai di depan gerbang sekolah Senjana. Di daerah kabupaten yang tidak ada lampu merah dan CCTV, serta suasana sepi, belum ada polisi yang berjaga, Senjana tidak memakai helm, hanya ayahnya saja karena ayahnya bekerja di Jakarta, di Jakarta pengawasan polisi lebih ketat dan banyak rambu-rambu lalu lintas.

"Ayah, aku berangkat. Assalamualaikum." Senjana mencium punggung tangan ayahnya, lalu ayahnya memberikan selembar berwarna ungu. Senjana berbinar, menerimanya. "Makasih, Ayah." Senjana bergegas masuk ke dalam sekolahnya.

Saat Senjana tengah berjalan sendiri, menuju kelasnya, ada seorang pemuda yang mengamati Senjana dari kejauhan. Ia tersenyum tipis, tetapi Senjana tidak memperhatikan hal itu.

Cantik.

Senjana sampai di dalam kelas, langsung meletakkan tasnya. Suasana kelas di dalam seperti biasa, hening. Belum ada satu pun siswa yang datang karena ini masih jam 06.10 WIB. Untuk mengisi kekosongannya, Senjana mengeluarkan sebuah buku novel yang baru ia punya. Novel itu berukuran kecil, berwarna merah muda. Gadis itu mulai menatap jajaran huruf yang dirangkai begitu indah di dalam buku novel tersebut.

Tengah fokus, memasuki dunia imajinasi yang disuguhkan dalam novel tersebut, tiba-tiba Fajar menghampiri Senjana, dan langsung menggebrak meja, membuat Senjana menoleh, lalu menyentuh dadanya. Ia melotot tajam ke arah Fajar. "Fajar! Lo gila, ya! Kalau gue kena seragam jantung gimana!" gerutu Senjana. Fajar telah mengganggu kesenangannya, menyelami dunia novel.

"Bodo amat."

Senjana berdiri, lalu berkacak pinggang. "Apa lo bilang? Bodo amat? Lo stres apa gimana, sih?" Senjana memukul lengan Fajar, membuat pemuda itu meringis.

"Rasain! Makanya jangan ganggu kesenangan orang!" gerutu Senjana.

"Hadeh, galak amat, sih. Masih pagi juga," gerutu Fajar. Ia memutar bola matanya dengan malas.

"Lo duluan yang mulai, bodoh!" umpatnya. Wajah Senjana sudah memerah padam.

"Lo yang bodoh," ejek Fajar.

"Apaan, sih! Ah, malesin banget lihat muka lo, mending gue jalan-jalan, deh." Senjana memasukkan buku novelnya ke dalam tas dan keluar dari kelas. Ia melangkah, berkeliling lingkungan sekolah yang masih sepi, untuk menghilangkan rasa suntuknya.

Ia berkeliling lingkungan sekolah sambil tersenyum. Namun, tanpa sadar tali sepatunya terlepas. Senjana masih asyik berjalan, keliling sekolah.

Di mading, Senjana tengah asyik menatap koleksi mading. Bertanya berbinar, menatap karya kakak kelas di sekolahnya. Terlihat kreatif dan indah.

Namun, tiba-tiba saja ada seorang pemuda yang menghampiri Senjana dan berdiri di sampingnya. Ia menatap gadis itu. "Woy, tali sepatu lo lepas," peringatnya, membuat Senjana menoleh ke arah pemuda itu, lalu menengok ke bawah. Ternyata benar, tali sepatunya lepas.

"Ah, terima kasih. Lo cowok yang waktu itu kayaknya."

Pemuda itu tersenyum lebar. "Lo diem di situ." Ia duduk berjongkok, ternyata meraih tali sepatu Senjana dan menalikan tali sepatu milik Senjana, membuat Senjana tertegun.

Kenapa dia mau menalikan tali sepatu gue? batin Senjana yang heran dengan sikap pemuda berkulit putih itu.

"Selesai." Pemuda itu kembali berdiri, lalu menatap Senjana.

"Terima kasih, ya." Senjana tersenyum ke arah pemuda tampan itu.

"Sama-sama. Lain kali perhatikan tali sepatunya. Kalau lepas, kesandung bahaya. Lo bisa jatuh," tuturnya. Senjana mengangguk, mendengarkan penjelasan dari pemuda itu.

"Iya, siap."

Tiba-tiba saja pemuda itu mengulurkan tangannya di hadapan Senjana. "Nama gue Nathan. Nama lo?"

Senjana menjabat tangan Nathan. "Gue Senjana. Terserah lo mau manggil apa."

"Nama yang cantik. Gue dari 10.IPA.3. Kalau lo dari IPA.1, ya?" tanya Nathan, membuat Senjana mengerutkan keningnya. Mengapa Nathan tahu di mana kelasnya?

"Kok, lo tahu kelas gue?" tanya Senjana.

"Gue sering lihat lo masuk ke kelas itu," jawabnya.

"Apa? Berarti lo suka perhatiin gue?" tanya Senjana ingin tahu.

"Kadang gue lihat lo lewat di depan kelas gue," jawabnya lagi.

"Oh, gitu."

"Em, boleh gue minta kontak lo? Lo mau nggak temenan sama gue?" ajaknya dengan keadaan jantung berdebar begitu hebat.

"Boleh. Emang lo bawa hp? Di sekolah kan, nggak boleh bawa HP soalnya."

"Tenang aja, gue nggak bakal kena razia." Nathan mengeluarkan ponsel dari saku kemeja putihnya, lalu memberikan ponselnya pada Senjana.  "Tulis nomor lo di sini."

Senjana meraih ponsel itu, lalu menuliskan nomor ponselnya di dalam ponsel pemuda itu. "Nih, udah selesai. Boleh, kok, lo jadi temen gue." Nathan tersenyum. Senjana segera mengembalikan ponsel Nathan. Nathan dengan senang hati menerimanya.

"Makasih, ya."

"Sama-sama."

"Gue akan hubungi lo nanti saat pulang sekolah."

"Oke, kasih tahu aja kalau itu dari lo," sahut Senjana.

"Kalau gitu, gue mau ke kelas dulu." Nathan pergi meninggalkan Senjana, sementara Senjana masih asyik menatap mading.

Karena sudah makin ramai, ia kembali masuk ke dalam kelas, menunggu teman-temannya datang. Teman-temannya itu memang suka datang siang.

"Dari mana lo?" tanya Hanni yang menghampiri Senjana. Hanni dan Najwa yang baru datang. Sementara Diani dan Larasati belum datang. Di antara mereka berenam, Larasati dan Diani yang paling lama datang ke sekolah.

"Jalan-jalan," jawab Senjana.

"Kita buruan ke lapangan, yuk. Nanti keburu ramai. Biarin aja si Larasati sama Diani. Nanti kita cariin tempat salat."

Senjana mengangguk setuju. "Ya udah, ayo kita ke lapangan." Senjana, Najwa, dan Hanni bergegas pergi ke lapangan. Namun, saat tengah ke lapangan, tali sepatu Senjana kembali terlepas. Ia juga berpapasan lagi dengan Nathan. Nathan melihat itu, menghampiri Senjana, lalu duduk berjongkok, membenarkan tali sepatu Senjana. Senjana hanya terdiam, menerima perlakuan dari Nathan yang menurutnya manis.

"Baru tadi dibilangin, udah copot lagi aja talinya. Nanti kalau lo kesandung, jatuh, sakit tahu," nasihatnya.

"Lo lagi. Makasih banyak, ya. Lo udah peduli sama gue," ujar Senjana.

"Iya, sama-sama. Ya udah, gue mau ibadah."

Senjana mengerutkan keningnya. "Lo mau kemana? Kan, lapangan di sana?" Ia heran karena Nathan sepertinya bukan mau ke arah lapangan, melainkan ke tempat lain.

"Sorry, gue bukan muslim." Senjana menatap kalung yang bertengger di leher jenjang Nathan, membuatnya menyadari bahwa Nathan tidak seiman dengannya. Ia memakai salib.

"Oh, maaf, ya. Gue nggak tahu."

"Ya udah, gue pergi dulu." Nathan bergegas meninggalkan Senjana.

Gue nggak boleh suka sama dia. Dia tidak seiman. Gue nggak boleh jatuh cinta sama orang yang nggak seiman sama gue. batin Senjana, kemudian ia kembali berjalan, menuju lapangan.

BAB 8 update, happy reading 🥰

Cinta Campur Gengsi [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang