Bab 42

178 5 0
                                    

Kegagalan demi kegagalan yang dialaminya memang sempat membuat Fitri merasa terpuruk. Tentu Fitri merasa sedih, namun setelah berbagai jalan terjal yang pernah dilaluinya, ini bukanlah yang terburuk. Fitri kembali melihat ke belakang dan mengingat kembali pukulan demi pukulan yang telah dilaluinya. Kehilangan keluarga, di jual dan dijadikan istri ke tiga, sampai dijual lagi dan dijadikan pelac*r. Entah berapa kalipun dirinya merasa hancur dan terpikir untuk mengakhiri hidup, namun pada kenyataan sampai sekarang dirinya masih berdiri tegak.

Fitri berusaha menegakkan kepalanya dan tersenyum memandang pantulan dirinya di depan cermin. Lihatlah, semua masih baik-baik saja. Fitri kembali melangkah dan memilih mengabaikan segala rasa sakit di relung hatinya. Harga diri baginya kini sudah tak penting lagi. Hidup harus tetap berjalan, meski satu-satunya jalan di hadapannya kini hanyalah mengais rezeki dengan menjual diri hanya demi bertahan hidup. Jika memang masih ada harapan, yang tersisa kini hanyalah kepasrahan.

Suara ponsel berdering, menyadarkan Fitri dari lamunannya.

"Hallo Tant..."

"Hallo Fit, kamu nggak lupa kan ada klien buat nanti malam?"

"Ya tant..."

"Apa kamu ada masalah? kenapa belakangan kamu jadi mengurangi jam terbang?"

Karena sibuk dengan usahanya, belakangan memang Fitri hanya mengambil sedikit job.

"Lagi pengen santai aja Tant, tapi setelah ini aku bakal lebih rajin lagi kok...", kelakar Fitri beralasan.

"Baiklah kalau begitu, Tante pegang kata-katamu..."

"Baik Tant..."

"Jangan lupa nanti seperti biasa, pukul 21 dihotel XX, Tante kirim detailnya by WA, bye..."

"Siap Tante, bye...bye..."

Sambungan telepon pun terputus.
Selanjutnya bagaikan robot yang sudah terprogram, Fitri melakukan rutinitas yang sudah dihafalnya di luar kepala.

Mandi di malam hari, memilih pakaian seksi dan mengenakannya, lalu merias wajahnya agar lebih segar dan menawan. Tak lupa Fitri juga menyiapkan jaket kulit andalannya.

Namun sebelum berangkat, Fitri menyempatkan diri untuk melahap roti yang tadi sempat dibelinya di minimarket sekedar untuk mengganjal perutnya. Setelah perutnya terisi, barulah Fitri melangkah keluar mengambil motor maticnya dan melaju ke alamat yang hendak di tuju.

Fitri memastikan nomer kamar dan membuka pintu kamar perlahan. Fitri mengamati sekilas laki-laki yang tengah duduk menunggunya sambil termenung. Sepertinya pria itu belum terlalu tua. Mungkin hanya beberapa tahun lebih tua darinya.

"Selamat malam Mas...", Fitri memutuskan untuk menyapa lebih dulu, lalu melangkah mendekat.

Wajah pria itu terlihat dingin, lalu tatapannya terang-terangan mengamatinya dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Cukup menantang!

Fitri menilai dalam hati. Fitri memberanikan diri untuk mendekat, berniat untuk duduk di pangkuan, lalu merayu pria itu.

"Jangan mendekat!"
Fitri tersentak mendengar kalimat keras yang diucapkan pria itu. Padahal jaraknya masih kurang satu langkah.

"Duduk disana dan mari kita bicara!", ucap pria itu selanjutnya.

"Bicara?", Fitri Heran, sebab biasanya pria yang datang padanya sudah tidak sabar ingin menyentuhnya. Walaupun adakalanya para pria datang untuk mencurahkan isi hatinya, itu akan dilakukan setelah mereka usai bercint*.

Atau kalau yang datang sekedar butuh teman curhat, mereka pasti sudah tua dan benda pusakanya sudah kehilangan kesaktiannya.

"Ya, aku ingin sedikit mengobrol denganmu..."

"Hahaha, kalau kau butuh teman curhat untuk menuntaskan masalahmu, seharusnya kau datang ke psikiater, bukan malah membayar pelac*r!"

"Hahaha!", Pria itu ikut terkekeh.

"Tapi aku sudah terlanjur membayarmu, jadi bagaimana? Apa kamu menolakku?"

"Tentu saja aku tidak bisa menolakmu, katakanlah aku akan mendengarkan dengan baik..."

Setelah tahu apa yang diinginkan kliennya darinya, Fitri pun bersikap lebih sopan dan menuruti permintaan pria itu. Begitulah cara Fitri bekerja, menyesuaikan dengan keinginan kebutuhan kliennya yang beragam.

"Aku ingin tahu kenapa gadis sepertimu bisa menjadi pelac*r? Apa sekedar karena uang atau ada alasan lain?"

Fitri menatap tajam ke arah pria itu, lalu membuang muka.

"Hidupku tidak ada hubungannya denganmu, kalau kamu mau kamu bisa berbagi dan berkeluh kesah tentang masalahmu, tapi tolong jangan bicarakan tentang diriku!"

Pertanyaan semacam itu membuat Fitri merasa terhina. Dan dia heran kenapa orang-orang harus penasaran akan kisah hidup dan alasannya memilih pekerjaan ini.

"Maaf kalau aku menyinggungmu, aku hanya ingin tahu..."

"Tidak apa-apa, dan maaf juga kalau aku tidak bisa menjawabnya..."

"Lalu, siapa namamu?"

"Fitri..."

"Fitri, maukah kau menikah denganku?"
"Apa?"

Fitri terkejut dengan pertanyaan pria itu. Pasti dia sedang mabuk dan bicara melantur

Sang Pelacur (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang