⊹ ventisei ⊹ ²⁶

16.1K 1.2K 15
                                    

Sekumpulan lelaki berbadan besar turun dari jet pribadi milik tuannya. Salah satu dari mereka membawa seorang bocah yang kita tahu dia adalah si bungsu Gavinandha. Bocah itu tertidur pulas dalam gendongan Hendra, wajah Ezra tertutupi kain tipis agar tak ada yang bisa melihatnya.

Di depan Hendra, ada Damian yang kini sudah melangkah mendahului mereka semua. Ia berjalan dengan gagahnya, wajahnya terlihat sangat menyeramkan namun juga tampan. Beberapa orang yang melihat itu memilih untuk berpura pura tak perduli, terlebih bagi mereka yang mengenal keluarga Hartono.

Damian dan Hendra masuk kedalam sebuah mobil mewah yang sudah terparkir apik di depan bandara. Mobil itu melaju dengan cepat menuju sebuah rumah besar yang berada di sebuah tempat terpencil.

Bertepatan dengan berhentinya mobil itu, Ezra pun terbangun dari tidurnya. Ia menggeliat pelan, kemudian mengelus perutnya yang kini sudah terasa perih. Anak itu melihat sekeliling dan lagi lagi ia merasa sangat asing dengan tempat ini.

"Turunlah." Suara itu mengejutkannya, ia menoleh dan ternyata ada Damian yang menatapnya dengan tajam.

Ezra menunduk kemudian segera turun dari mobil, ternyata di luar sudah ada Hendra yang menunggu dan turun lebih dulu. Anak itu menghampiri Hendra dan berdiri di sisi lelaki itu, salah satu tangannya di ikat sebuah tali panjang berwarna hitam. Entah untuk apa Ezra pun tak tahu.

Damian berjalan masuk lebih dulu mendahului mereka, ia juga menarik tali yang terpasang di lengan Ezra membuat anak itu mau tak mau harus mengikuti langkahnya yang begitu cepat.

"Om jalannya cepat sekali." Ia meringis pelan ketika beberapa kali akan jatuh dan tersandung sesuatu.

"Diam dan ikuti saja aku."

Ezra menutup mulutnya rapat rapat dan mencoba mempercepat langkahnya. Setelah sekian lama berjalan, sampailah ia pada sebuah kamar yang dominan berwarna coklat. Banyak almari kayu di sudut ruangan serta beberapa miniatur berbentuk unik yang dapat kita ketahui pasti sangatlah mahal harganya.

"Ezla lapal om."

Damian tak menjawab, ia hanya memberi semacam isyarat pada Hendra karena terbukti Hendra langsung keluar dari kamar ini dan tak lama setelahnya pria itu kembali dengan sebuah nampan berisikan sepiring makanan serta segelas susu hangat.

Ia meletakan itu di sebuah meja, dan menyuruh Ezra duduk di sofa. "Makan dan habiskan."

Ezra langsung mengambil sendoknya dan mulai menyuapkan makanan. Anak itu makan dengan lahap masih dengan posisi salah satu lengan yang terikat tali. Makanan yang Damian berikan memiliki rasa yang lezat, tetapi Ezra rasa ini seperti bukan makanan Indonesia. Entah berada di mana ia sekarang.

Tetapi Ezra tak terlalu memusingkan hal itu karena fokusnya saat ini hanya tertuju pada makanan yang sedang ia makan, tak lupa ia juga meminum susu hangat yang sudah di sediakan. Hingga semua habis, piring itu langsung di ambil oleh seorang pelayan.

Pelayan itu keluar dari kamar di ikuti Damian setelahnya. Hingga kini hanya ada Ezra dan Hendra di kamar.

"Apa yang kau inginkan, bocah?" Hendra bertanya, karena sedari tadi Ezra seperti orang linglung yang terus menatap bingung ke segala arah.

"Ezla mau pulang, ndak suka disini." Ia menjawab dengan nada sedih, "Ezla kangen mama dan papa dan abang Iyo." Lanjutnya.

Hendra menghela nafas, ia mencengkram dagu Ezra membuat anak itu meringis kesakitan, "Dengar, jangan membahas apapun tentang keluarga mu di depan saya atau pun tuan Damian."

"Memangnya kenapa?"

"Turuti apa kataku jika kau tak ingin mendapat hukuman."

Ezra menunduk sedih, ia ingin menangis namun suara Hendra kembali memasuki gendang telinganya, "Tahan tangis mu, jangan menjadi anak cengeng."

Ezra, anak bungsu. [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang