⊹ quattordici ⊹ ¹⁴

29.4K 2.2K 23
                                    

Begitu pun di hari berikutnya, sikap kedua lelaki itu belum berubah padahal Anita sudah menyindirnya beberapa kali dan itu malah membuat ibu dua anak semakin kebingungan lalu mencoba mengingat apakah ada yang salah.

Padahal ia sangat berharap semua akan bersikap hangat karena sebentar lagi adalah hari dimana ia akan bertambah usia.

Tak mau terlalu larut, Anita kini bangun dari ranjang dan melirik jam yang tertempel apik di dinding.

"Masih jam enam." Ucapnya pelan.

Ia memutuskan untuk kebawah dan menemui sang suami, karena sejak ia bangun tadi ia tak melihat keberadaan Arjuna sedikit pun.

Sesampainya dilantai bawah, ia mengedarkan pandangannya dan rumah masih terasa sepi. Ia beralih kedapur.

Terlihat disana ada segelas kopi dan susu, dan roti tawar beserta selai yang sudah ada di meja. Kopi dan susu itu sudah tersisa setengah di dalam gelas, yang artinya sudah ada yang meminumnya tadi.

Sudah pasti Arjuna dan Elio bukan? Hatinya sakit, apa mereka sengaja berangkat sepagi itu untuk menghindarinya.

Apa mereka sudah bosan memakan masakannya?

Nyatanya perilaku suami dan anak sulungnya tak bisa tak membuatnya kepikiran. Ia mulai mencari cari apa yang salah pada dirinya.

Ia kurang apa? Atau ada perkataanya yang sangat melukai hati keduanya?

Lamunannya terganti ketika mendengar tangisan si kecil yang berasal dari kamar. Tak menunggu lama Anita langsung saja menghampiri.

Namun sebelum itu ia sudah membuat susu untuk anaknya terlebih dulu, takut takut jika Ezra akan haus.

"Iyaa, mama disini nak." Ucapnya sambil membuka pintu kamar.

Terlihat disana Ezra yang menangis sedih dengan posisi masih terlentang di kasur. Anita merebahkan diri di samping tubuh Ezra.

Ia menarik anak itu dalam pelukan hangat, mengusap usap pelan punggung Ezra.

"Tumben, ngga biasanya adek nangis."

"Papa, hiks." Ucap Ezra dengan sisa sisa tangisnya.

"Papa udah berangkat kerja, adek sama mama dulu ya."

Tangisan Ezra kembali terdengar ketika ia mendengar ucapan sang ibu.

"Mau main bola, sama papa sama abang Iyo." Ezra berucap dengan bibir melengkung kebawah dan mata bulatnya kini masih tersisa air mata.

Tiba tiba saja ia teringat kolam bolanya yang berada di ruang bermain, akan sangat seru jika mereka bermain bersama disana.

"Nanti ya, papa sama abang masih sibuk." Anita mencoba memberi pengertian.

"Adek kangen." Anita tak menjawab, ia mengusap air mata anaknya yang masih mengalir membasahi pipi gembil yang kini sedikit memerah.

Anita rasa dirinya harus membicarakan ini bersama suami dan anak sulungnya nanti, setidaknya jangan libatkan si bungsu dalam masalah ini, pikirnya. Karena bagaimana pun, Ezra masih sangat butuh perhatian kedua sosok itu. Tak hanya ibu, Ezra juga membutuhkan sosok ayah dan abang untuknya.

Memikirkan apa yang terjadi saat ini membuat Anita kesal seketika.

"Mama." Panggil Ezra lirih.

"Iya sayang?" Jawabnya dengan suara lembut.

"Mau main sama papa."

"Nanti siang ya, Sekalian kita bawa makan siang buat papa. Oke?" Ezra mengangguk, lalu kembali menyamankan posisinya dalam pelukan sang ibu.

Ezra, anak bungsu. [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang