| CHAPTER 28 | Sea ​​And Lake

13 6 0
                                    

Happy Reading Guys
.
.
.
.
.

Hari yang tidak pernah Kinan harapan akhirnya datang. Semua orang berkumpul untuk mengebumikan korban yang tewas. Siapa sangka akan datang hari-hari dimana semua orang saling melempar tangis.

Aku menemukan namamu di antara puluhan nama di batu nisan putih. "FAREL ATMAJA", namamu terukir indah di barisan akhir. Aku berdiri menghadap makam tanpa jasadmu. Apa yang akan ku tangisi?

Isak tangis menjadi irama di acara perpisahan itu. Langit ikut menyuarakan dengan bergabung membentuk langit abu. Semua orang berbaju hitam serentak mendoakan dan berpamitan tanpa bertemu.

Kinan termenung menatap nisan putih. Ia hanya duduk menunggu hingga mengisahkan beberapa orang yang akan segera pergi.

"Kinan, pulang yuk."

"Gue masih mau di sini," jawab Kinan tanpa melihat lawan bicaranya.

Setelah mendengar jawaban Kinan, semua teman-temannya pergi meninggalkan Kinan. Mereka paham bahwa cobaan ini sangat berat bagi Kinan, dan memberi waktu untuk tenang.

Sesaat kemudian datang dua orang menghampiri.

"Kinan, gue.. mewakili kakak gue, ingin meminta maaf sebesar-besarnya. Kami turut berduka cita"

"Saya Revi sebagai kakak Rafi, ingin berterimakasih atas jasa Farel. Terimakasih telah membuat saya bisa menemani Rafi lagi. Saya tahu, jika saya bukan siapa-siapa kamu. Tapi saya segalanya bagi Rafi."

"Tolong terima maaf dari kami," kata Rafi. Lalu keduanya membungkuk memberi rasa hormat.

"Harusnya kalian minta maaf langsung sama Farel," lirih Kinan lalu pergi.

Tidak ada artinya meminta maaf padaku.

***

Berdialog pada langit adalah caraku menyampaikan rindu. Namun terkadang semesta mewakili perasaanku lewat teduhnya awan redup.

Aku ingin mengulang kembali kenangan bersamamu di kala hujan. Namun kini kenangan itu kian memudar dari benakku. Wajahmu hanyut dalam genangan air mata.

Mulai hari ini, aku membenci hujan.
Ia datang seakan mengasihaniku
Ia selalu meyaksikan caraku menangisimu.
Ia tahu usahaku melupakanmu, karena rintiknya lah yang terus-menerus menghantamku.

Ternyata kita hanya di takdirkan bertemu, bukan untuk bersama. Harusnya kita tidak mengenal sampai sejauh ini.

Jadi aku harus bagaimana?
Menunggu atau melupakan?

Pelan jalan Kinan dan akhirnya berhenti. Ia membayangkan jikalau tahu bahwa kala itu hari terakhir ia bertemu Farel, maka tidak akan membiarkan pergi.

Saat ini langitlah yang membuat Kinan tewas dalam kesedihan. Ia ribuan kali tertimpa tetesannya yang begitu deras. Di hari yang berduka ini siapa sangka hujan ikut berbaur menjadi sendu.

Kinan lalu terhenti pada sebuah tempat. Tempat yang mengingatkan Kinan pada kenangan manis bersama lelakinya dulu.

Danau.

Sebenarnya seberapa jauh Kinan berjalan hingga berakhir di tempat itu? Tak terhitung langkah maupun jarak.

Sebenernya apa warna danau di depannya? Tidak terbaca di mata Kinan karena hujan yang turun tanpa jeda.

Sebenernya siapa yang menuntun Kinan menuju tempat itu? Bukan semesta, melainkan takdir.

Kinan termenung lama memikirkan jawaban sembari memandangi danau. Sendirian dan pakaiannya basah kuyup, ia tak peduli.

Tanpa Kinan sadari, ia teringat kembali kenangannya.

"Apa yang kamu sukai dari malam?"

"Hmm... bintang...tiang lampu jalan..dan.."

"Dan apa?"

"Dan sekarang kamu," lirih Farel.

"Apa?" Kinan tidak begitu mendengar.

"Gak, gak ada, cuma itu." Farel mengelak.

Kinan tersenyum semringah karena sebenarnya tahu ucapan Farel yang begitu lirih. Kinan hanya ingin mendengar sekali lagi kalimat itu dari mulut Farel.

Hari itu Kinan tahu jika Farel mulai menyukainya, namun sangat terlambat bagi Farel untuk mengutarakan. Sekarang Kinan mulai merasa lelah terus-menerus menyesali masa lalu. Untungnya hujan membantu untuk menangis agar tak kesepian.

Sedikit-demi sedikit hujan mulai reda, namun masih menyisakan rintiknya. Kinan merogoh tasnya lalu mengeluarkan dompet. Dari dompet itu ia mengeluarkan sebuah lipatan perahu dari kertas yang telah usang.

Ya, itu adalah perahu kertas pertama yang dibuat Farel. Kinan menyimpan dan selalu membawa kemanapun. Ia berniat ingin mengembalikan pada waktu yang tepat ketika berhasil bertemu kembali.

Namun siapa sangka waktu yang tepat itu adalah hari ini. Nyatanya bukan pertemuan, melainkan perpisahan. Sangat terlambat, tapi kapan lagi saat-saat yang tepat itu datang.

Kinan menurunkan perahu kertas itu dari sisi danau. Hanya sampai sejengkal, belum seperempat danau perahu itu arungi. Rintik yang turun bantu basahi kertas dan air yang begitu banyak ikut melenyapkan.

Kinan merenung dan makin menyesal.

Seberapa dalam laut yang merenggut Farel. Apakah sedalam danau yang menelan perahu kertasnya?

Laut yang Farel huni begitu dingin, dibandingkan dunia yang hampa.

Laut yang Farel tiduri tak sebanding dengan rumah yang ditinggali.

Manakah yang lebih baik untuknya?

Setipis kertas itu adalah kesempatan harapan Kinan terkabul, melawan takdir yang seluas air yang mengapung, di atas harapan berupa perahu kertas.

Perahu kertas itu telah tenggelam sepenuhnya. "Selamat jalan, hujanku."

.
.
.
.
.

Hai, Terimakasih ya sudah membaca. gimana menurut kalian?

See you next part ❤️

See you next part ❤️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Perfect TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang