3 | Bersua :

1.4K 136 22
                                    

• ɓ è ŕ s ù à •

bertemu; berjumpa

[28/08/2023]

...


"Dari mana lo? Tumben baru balik." Arjuna bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopnya. Seingatnya Giandra masih ada ujian terakhir besok. Biasanya kakak beda satu jamnya ini lebih memilih menghabiskan malamnya untuk membaca daripada berkeliaran.

Giandra melempar asal tasnya di sofa. "Rumah sakit."

"Ngapain?" Kali ini atensi Arjuna teralihkan. "Lo abis nonjok orang lagi?" Siapa yang berani cari mati mengganggu Giandra di sela fokusnya pada ujian. Kembarannya yang ambisius ini tak mungkin rela meluangkan waktu jika orang itu tak duluan cari masalah.

"Nggak. Gue ketemu Aruna."

"Aruna yang dijodohin sama lo itu?" Kali ini Arjuna mengubah posisinya, menatap penuh Giandra yang baru saja membuka kaosnya.

"Siapa lagi?"

"Kok bisa?"

"Nanti aja, gue mau mandi dulu." Giandra menghela napas lelah ketika menemukan barang Arjuna berantakan memenuhi apartemennya. "Beresin barang lo atau balik ke apartemen ke sendiri."

"Males balik gue."

"Apart lo cuma di depan, sialan!" Giandra melempar bantal ke wajah Arjuna. "Nggak ada satu menit juga sampai. Gue balik mandi masih berantakan gue seret lo."

Setelah mengatakannya, Giandra berbalik dan melangkah ke kamar mandi. Sementara Arjuna mengumpat pelan sembari merapikan barang-barangnya.


...

Usai membersihkan diri, Giandra menyantap makan malamnya bersama Arjuna. Keduanya duduk di pantry berhadapan. "Kok bisa pas banget ada Aruna di sana. Lo tau siapa yang lempar potnya?"

Giandra hanya mengangkat bahu. Tidak peduli. "Lo ngasih apa ke tuh cewek sampai segitunya?"

"Nggak gue kasih apa-apa. Emang dia aja yang obsesi ke gue."

Dan mendapati Giandra menatapnya tajam, Arjuna mengangkat kedua tangannya. "Sumpah, Gi! Untungnya buat gue apa?"

"Banyak." Giandra menekan kalimatnya. "Bisa jadi lo punya sesuatu yang nggak boleh orang lain tau. Lo bisa manfaatin dia kalau butuh. Dan sekarang dia lagi usaha buat dapetin itu lagi." Atau lagi usaha biar Arjuna tetep tutup mulut.

Arjuna diam sesaat sebelum kemudian membalas dengan santai. "Nggak. Dia emang cinta mati sama gue. Makanya jadi gila gue putusin."

"Pede banget, sialan!" Giandra tak tahan. Namun, ia mengerti dan tak mengulik lagi.

"Sebenarnya gue nggak peduli. Terserah lo mau ngapain. Cewek itu mau lo habisin juga terserah." Kali ini suara Giandra lebih santai. "Tapi kalau misal tebakan gue bener. Gue cuma mau lo hati-hati."

Arjuna tak membalas lagi. Pemuda itu mengerti dan memilih melanjutkan makannya.

Giandra berdiri setelah menyisihkan piringnya. Pemuda itu meneguk air sebelum kembali berkata. "Tapi kalau sampai dia masih ganggu lagi, gue duluan yang bakal beresin."

Sudah cukup dia diam selama beberapa bulan ini. Entah apa yang ditunggu Arjuna hingga saudaranya itu tak bergerak sama sekali.

"Terus soal Aruna? Nggak jadi lo batalin?"

"Mama nggak setuju dan nyuruh gue ngobrol dulu sama Aruna."

Arjuna manggut-manggut. Pasti orang tuanya tak ingin melepaskan putri dari keluarga Diwangkara begitu saja. Apalagi mereka hanya memiliki satu keturunan putri karena hampir semua generasi sekarang laki-laki. "Lo emang serius nggak suka? Aruna cantik, pinter, prestasi oke, nggak malu-maluin buat lo."

Perkataan Arjuna tak salah, namun Aruna bukan tipe perempuan yang ia cari. "Tipe gue bukan tuan putri kayak dia."

"Tapi Mama keukeuh, kan? Coba aja ajak ngobrol dulu." Arjuna pikir, jika Mama sampai menolak permintaan Giandra, bahkan memaksa, pasti gadis itu punya sesuatu.

Perjodohan seperti ini biasa dalam lingkungannya. Selain menguatkan hubungan antar keluarga, juga untuk memperluas bisnis dan menaikkan status sosial. "Ini baru kedua kali lo dijodohin. Biasanya Mama nggak sampai kayak gini. Coba aja sih, Gi. Siapa tau kali ini bisa tahan sama sifat brengsek lo."

"Itu masalahnya." Aruna terlihat seperti tak akan sanggup dengan sifatnya yang keras dan agak kasar, bahkan seringkali tak ragu untuk melayangkan pukulan di tengah banyak orang. Ia butuh pasangan yang setara dengan karakternya, yang tak ragu menonjoknya sekalipun ketika ia bertindak gegabah. Gadis itu terlalu kalem dan tak neko-neko.

"Tapi sekarang gue berubah pikiran." Aruna keturunan Diwangkara, satu hal yang sempat luput darinya. Mereka juga rekan keluarganya yang mumpuni. "Besok gue mau ngomong sama dia."

...

Aruna merasa sebagian bebannya terangkat setelah ujian terakhirnya berakhir. Ia berencana menemui mamanya di rumah sakit hari ini setelah dua bulan tak pulang karena banyak tugas dan praktikum.

Sejak semester dua Aruna tinggal sendiri di apartemen tak jauh dari kampus sebab rumahnya cukup jauh. Butuh waktu hampir tiga jam menempuh perjalanan. Kini ia menunggu sopir sang mama untuk menjemputnya.

"Aruna!" Seruan itu tidak hanya menyita perhatian Aruna, namun hampir seluruh mahasiswa kedokteran yang ada di sana.

Sosok Giandra melangkah dengan pasti menghampirinya. Tidak peduli pada seluruh atensi menuju pada pemuda itu, ia tetap fokus pada Aruna. "Gue perlu ngomong sama lo."

Aruna mengabaikan keingintahuan sekitarnya. "Sekarang?"

"Iya, tapi nggak di sini." Dan tanpa menunggu persetujuan Aruna, laki-laki itu menarik tangannya. "Motor gue di parkiran fakultas lo. Nggak jauh. Ayo."

"Bentar, Giandra." Aruna menahan tangan Giandra ketika jarak mereka dengan orang-orang sudah cukup jauh. "Gue nggak bisa sekarang."

Ekspresi Giandra berubah tak suka. "Kenapa nggak bisa?"

"Sopir gue udah jemput dan gue udah ada janji."

"Janji?" Tatapan Giandra menajam. "Sama siapa?"

Aruna menarik napas perlahan sebelum menjawab. Kayaknya Giandra kalau nanya emang nggak bisa kalem. "Mama."

"Lo ketemuan di mana?"

Sungguh, ini bukan urusan Giandra dan Aruna tak ada kewajiban menjawabnya. "Di rumah sakit."

Cowok itu diam sesaat. "Nggak masalah. Gue bisa nunggu sekalian anterin lo." Toh ia kenal dengan keluarga Aruna.

"Harus banget hari ini?" Kenapa nggak bilang dari kemarin sih! Rencana dadakan seperti ini benar-benar menyulitkan baginya. "Supir gue terlanjur jemput. Bentar lagi sampai."

"Iya. Gue maunya hari ini."

Aruna menatap heran. "Kenapa jadi mau lo?" Ia mengatakannya tanpa nada kesal atau marah. Setelah membaca profil Giandra dan pertemuan mereka kemarin, Aruna semakin mengerti karakter pemuda ini.

"Lo nolak ngobrol sama gue?"

"Gue nggak bisa sekarang, Giandra." Bener-bener sesuai prediksi. Cowok ini pemaksa. "Supir gue juga udah jemput. Kalau lo maksa, nanti malam gue bisa. Lo pilih aja tempatnya."

Terbiasa selalu mendapat apa yang ia mau dengan cepat, Giandra merasa sedikit enggan menuruti kompromi itu. Namun, setelah berpikir beberapa saat, akhirnya ia melepaskan tangan Aruna.

"Oke, nanti malam gue jemput."

"Nggak usah dijemput. Langsung ketemu di sana aja."

Lagi, Giandra merasa tak terima karena penolakan Aruna. "Lo nggak mau kasih alamat apartemen lo ke gue, ya? Lo takut?"

"Alamat apartemen? Takut?" Aruna terkekeh singkat. Benar tebakannya jika Giandra tak pernah membaca dokumen pribadinya. "Bukannya lo harusnya udah tau?"

"Tau dari ma-" Ah, iya! Profil Aruna. Sialan! Giandra bahkan tak pernah membukanya.

"Supir gue udah di depan. Gue duluan. See you around, Giandra."

...

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang