11 | Harapan :

1K 111 12
                                    

• Ĥ à ŕ à p à ñ •

(3) Orang yang diharapkan atau dipercaya

[03/12/2023]

...

Usai kelas berakhir, Aruna menghabiskan waktunya di perpustakaan pusat yang berada tak jauh dari gedung kemitraan.

Banyak koleksi buku di sini. Mulai dari buku-buku kedokteran dan akademik lain hingga novel dan komik. Aruna berada di lantai tujuh dan duduk di dekat jendela. Ia tengah menyelesaikan gambarnya sembari menunggu Giandra.

"Itu Aruna, kan? Pacarnya Giandra?"

Aruna berusaha abai dengan suara di belakangnya. Ini perpustakaan pusat kampus yang dibangun megah, bukan perpustakaan fakultasnya. Mahasiswa dari berbagai fakultas pasti banyak berkumpul di sini.

Dan mereka semua tahu sosoknya. Termasuk Giandra.

"Ssstt, lo jangan keras-keras." Suara berat itu terdengar dilirihkan. Laki-laki itu memberi tanda pada ketiga temannya untuk tak berisik.

"Gue nggak nyangka aja, Aruna sekalem itu cowoknya malah mode senggol bacok tiap saat kayak Giandra."

Kali ini suara perempuan ikut dipelankan, namun Aruna masih dapat mendengarnya.

"Sama. Gue kalau kebetulan satu matkul dan sekelas sama Giandra aja bawaannya pengen absen."

"Tapi Giandra cukup profesional sih." Salah satu teman perempuan mereka terdengar tak setuju. "Gue pernah satu meeting sama Giandra di kantor bokap. Dia kompeten kalau diajak diskusi dan berpendapat, walau galaknya masih ada. Cuma lebih jinak aja."

"Setuju. Gue juga pernah satu forum sama Giandra." Lelaki itu mendekatkan tubuh pada teman-temannya. Lalu berkata dengan suara lirih. "Dia objektif, nggak mandang siapa yang ngomong. Kalau pendapatnya emang oke, Giandra nggak ragu buat approve. Waktu gue kesulitan dan minta solusi, Giandra juga fine-fine aja. Meski gue sempet kena semprot karena nggak paham-paham. Tapi overall, dia mau bantu aja udah ajaib."

"Cuma nggak tau kenapa kalau di luar Giandra mendadak budek. Kayak orang nggak kenal. Waktu gue coba sok nyapa dia nggak dibales, anjing! Noleh aja nggak. Berasa dilupain gue."

"Giandra nggak suka basa-basi. Kalau nggak penting nggak akan ditanggapi. Mana mukanya nggak santai mulu. Galak banget."

"Wajar nggak sih, yang mau sama dia banyak, cewek cowok sama aja, gue kalau jadi Giandra juga ogah kalau cuma dimanfaatin. Kecuali kalau sama-sama untung."

"Nggak usah berharap. Temen gue udah tiga bulan ngejar dia aja nggak dapat feedback apa-apa. Dan sekarang galau karena Giandra udah ada cewek. Mana modelnya kayak Aruna, katanya, pengen galau tapi sadar diri."

"Yang sabar deh buat temen lo. Suruh cari yang lain. Lagian handle galaknya Giandra juga belum tentu bisa."

Aruna jadi tak fokus pada gambarnya karena mendengar percakapan itu. Ia hampir memilih pindah sebelum seorang mendadak menarik kursi di sampingnya.

"Halo, Aruna." Seorang pemuda menyapanya. "Gue boleh gabung, kan?"

Aruna refleks menjauhkan tubuhnya. Ia tak membalas sapa itu. Rupanya teman sekelas Aruna, namun ia lupa namanya.

"Gue boleh nanya sesuatu nggak?" Lelaki ini dengan kurang ajar mendekatkan tubuh, lalu merangkul dan menyentuh tangan Aruna.

"Sorry," Aruna langsung menarik tangannya dan berdiri. Ia tidak nyaman. Lagipula ini tempat umum, bahkan ada kamera pengawas, bagaimana bisa cowok ini bisa berani kurang ajar?

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang