Selama pembelajaran berlangsung, Queyra hanya diam tanpa berniat mengeluarkan suaranya. Farhan yang berada di sebelahnya pun khawatir akan sikap Queyra yang turun drastis seperti ini. Tidak biasanya ia melihat Queyra se-badmood itu.
Farhan terdiam lama. Mendengarkan penerangan dari Bu Nita yang kini sedang menjelaskan sebuah pelajaran yang mereka pelajari hari ini. Sesekali ia melirik Queyra yang memasang wajah datar.
Ingin bertanya, namun ia takut membuat Queyra marah di kelas. Mengingat saat kejadian terakhir di UKS, gadis itu teramat memendam api amarah. Dan Farhan tidak mau hanya karena hal sepele seperti ini, ia bisa saja memperkeruh suasana.
Farhan membuka buku miliknya. Menulis beberapa kata di lembaran terakhir dari buku itu sendiri. “Quey ...” bisiknya pelan.
Queyra menoleh. “Apa?”
Farhan menyodorkan sebuah kertas sobekannya kepada Queyra, padahal mereka duduk dibangku yang sama. Bahkan ketika duduk pun mereka bersebelahan. Bisa saja Farhan berbicara bisik-bisik kepadanya, tidak harus bermain surat-menyurat layaknya kisah cinta anak TK. Dengan gerakan lambat Queyra menerima surat tersebut, membacanya dalam hati.
Dari tadi lo diem aja. Kenapa? Mikirin soal Valdesta ya? Sebaiknya lo lupain dulu kejadian tadi. Lo nggak bisa fokus belajar kalau sepanjang jam pembelajaran cuma ngelamun aja. Gue nggak mau ngomong karena takut Bu Nita hukum kita. Karena gue tau, keadaan lo sekarang nggak memungkinkan untuk dihukum. Ayo dong semangat, masa cuma karena masa lalu jiwa maungnya menciut? Nggak cocok tuh sama prinsip ketegaran lo selama ini. Jadi, lupain kejadian tadi, oke. Kalau lo senyum. Berarti lo nurut sama gue.
Farhan Ganteng.
Tanpa sadar Queyra tersenyum tipis, tersipu malu mendapatkan surat penyemangat dari teman sebangkunya. Alih-alih Farhan ikut tersenyum, menikmati desiran aneh yang menjalar menguasai tubuhnya saat ini. Melihat wajah Queyra yang kembali ceria, serta senyuman tipis yang terbit disudut bibitnya membuat hati Farhan seketika menghangat.
“Nah gitu dong. Cantik,” bisik Farhan mengedipkan sebelah matanya.
Queyra mencubit lengan Farhan. “Gombal!”
Farhan meringis mendapat cubitan kecil dari Queyra. Tidak apa ia tersiksa oleh cubitan maut yang Queyra cetuskan kepadanya. Asalkan ia berhasil, karena telah mencairkan sisi beku dalam diri Queyra. Ia bangga, melihat Queyra tersenyum karena surat sederhana darinya.
***
“Pulang sama siapa, Quey?” tanya Fitaloka yang menunggu jemputannya di dekat pintu gerbang sekolahan.
“Sendiri. Naik gojek mungkin,” jawab Queyra seadanya.
“Kamu pulang sama aku, Ra. Ayo naik!” Valdes mengajak Queyra untuk pulang bersamanya, membuat gadis itu mematung dengan sorot mata yang sulit di artikan.
Queyra mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Gue bisa pulang sendiri. Lagian lo bareng tunangan lo, 'kan?”
Valdes menatap Queyra tidak suka. Ia memarkirkan motornya di pojok pintu gerbang, berjalan mendekati Queyra yang berdiri di samping Fitaloka.
“Rara ... gimana caranya biar kamu percaya sama aku? Tunangan itu nggak ada! Dan kamu pasti tau, sandiwara yang dibuat Quenza itu merugikan beberapa pihak. Termasuk batin aku sendiri, Ra. Kamu tatap mata aku. Bilang kalau aku ini bukan sahabat kamu, jika memang kamu benar-benar lupain semua kenangan kita dulu, Ra!” Valdes tersulut emosi. Ia mencoba meraih tangan Queyra, namun gadis itu dengan cepat menepisnya.
Bukannya menatap Valdes, Queyra malah menangis. Ia benci dengan kerapuhannya saat ini. Fitaloka yang berada di sebelahnya langsung memeluk tubuh temannya erat, merasakan betapa sakitnya ketika teringat sebuah kenangan masa lalu yang telah terkubur lama.
“Des! Lo bisa nggak kasih jeda buat Queyra sendiri. Dia nggak mau diganggu sama lo, lagian lo udah punya tunangan masih gatel ke cewek lain. Jangan paksa dia untuk menghakimi hati lo yang sekarang acak-acakan, Des. Queyra bukan Quenza yang bisa lunak hanya karena ucapan manis dari lo, itu.” Fitaloka mencoba menenangkan Queyra.
“Gue nggak papa.” Queyra mendongakkan kepalanya, hendak membalas ucapan Valdes.
“Lo—”
“VALDES! SAYANG! KOK KAMU TINGGALIN AKU SIH!” teriak Quenza dari arah parkiran, berlari menuju pintu gerbang sekolahan.
Queyra mengepalkan tangannya, menghela napas panjang. Valdes yang sudah serius melihat Queyra pun jadi terganggu dengan suara lengkingan dari Quenza. Matanya mendelik, menatap Quenza penuh kemarahan.
“Apa sih!”
“Loh, kok apa? Kamu ninggalin aku di kelas sendiri tau. Mana udah sepi lagi, heh lo, Lita! Ngapain tatap-tatap tunangan gue kayak gitu!” sentak Quenza menghentikan rengekannya kepada Valdes, dan beralih menatap Queyra tidak nyaman.
“Lo bukan tunangan gue.” Koreksi Valdes menggeleng-gelengkan kepalanya tidak terima.
Quenza tidak terkejut, ia malah bergelayut manja di lengan Valdes. “Sayang ... dari tadi kamu becanda mulu, deh. Nggak capek apa?”
Valdes menepis tangan Quenza kasar. “Iya gue capek! Capek ngadepin sandiwara yang lo buat selama ini. Gue jijik sama lo, minggir!”
Valdes menarik tangan Queyra tanpa persetujuan darinya. “Ayo, Ra. Kita pulang.”
“Nggak mau!” Tolak Queyra meronta-ronta, minta di lepaskan.
Valdes menatap Queyra tajam. Ia mencengkram erat tangan Queyra hingga urat-urat nadinya memutih. “Valdes! Lo gila! Tangan gue sakit!”
“Lo keras kepala. Kalau lo langsung nurut, gue nggak akan bermain kasar kayak gini!” sentak Valdes menatap Queyra tajam. Sedangkan Queyra membalas tatapan Valdes dengan penuh kebencian.
Ia tidak suka di atur-atur. Tidak suka bermain kasar seperti Valdes memperlakukannya seperti hewan. Ia benci dengan keadaannya saat ini. Tangan kanan Queyra terangkat, menampar Valdes hingga cekalannya terlepas.
“Lo bukan sahabat gue! Sabahat gue yang dulu nggak pernah kasar sama perempuan. Dia lebih terhormat, dan menghargai setiap keputusan yang dianggapnya benar.” Queyra memandang Valdes dengan berlinang air mata. Lebih banyak memendam kekecewaan ia pun menendang lutut Valdes, lalu melarikan diri dari sana. Meninggalkan Fitaloka yang memanggil-manggil namanya dari kejauhan.
Valdes meringis kesakitan di samping motornya yang berada di pojokan. Quenza segera berjongkok, mengkhawatirkan kondisi Valdes saat ini.
“Kamu nggak papa sayang? Mana yang sakit? Emang yah Lita. Kalau udah emosi, nggak bisa ditahan. Tenang aja sayang, nanti biar aku kasih pelajaran sama dia.” Quenza masih sibuk mengelus-ngelus lutut Valdes.
Laki-laki itu terdiam sejenak. “Jangan lakukan apapun sama Queyra. Lo nggak berhak kasih dia pelajaran, karena disini gue yang salah, udah maksa dia dengan cara kasar.”
Quenza mengepalkan tangannya kuat-kuat, tidak terima Valdes membela Queyra. “Tanpa persetujuan dari kamu pun aku akan kasih dia pelajaran. Karena Queyra, kamu jadi terluka kayak gini.”
“Tapi Queyra udah banyak menanggung luka, kalau lo lupa.”
================================
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
THE REAL ANTAGONIST [SELESAI]
JugendliteraturQueyra Mike Cralita. seorang Bad girl yang masih bertahan dalam penderitaan hidupnya. Sosok gadis yang rapuh dibalik raga yang terlihat tangguh. Keluarga bukan jaminan untuk Queyra bertahan hidup, akan tetapi takdir yang mendorong Queyra untuk teta...