=40= Kehilangan Nyawa.

10.6K 461 31
                                    

Lambat laun tangan Queyra bergerak. Kedua kelopak matanya terbuka secara perlahan, menyesuaikan cahaya luar yang menyorot ke arah bola mata. Ia mengambil oksigen melalui alat bantu pernapasan yang melekat di wajahnya.

Lando yang menyadari pergerakan tangan Queyra pun tersenyum haru. “S-sayang ... kamu sudah sadar?”

Dengan lemah Queyra menoleh ke arah Lando, air matanya mengalir tanpa permisi. Membasahi bantal putih yang menopang kepalanya.

“P-pah—”

“Jangan banyak berbicara. Pasti bibir kamu masih kaku, biar Papah panggilkan Dokter untuk memeriksa, tunggu sebentar, nak.”

Lando segera keluar, mencari Hafidz. “Dokter Hafidz!”

Hafidz yang tengah berada di ruangannya pun segera bangkit, menemui Lando yang saat ini mencarinya. “Ia Tuan, ada yang perlu saya bantu?”

“Queyra sudah sadar, periksa dia sekarang!”

“Alhamdulillah ...” Hafidz segera berlari ke arah ruang rawat Queyra bersama Lando yang memimpin jalannya.

Hafidz meminta izin untuk masuk, lalu memeriksa keadaan Queyra. Setelah selesai ia mengizinkan semua orang yang ada di luar ruangan agar masuk, untuk menengoknya.

“Hay! Q-quey ...” Farhan melambaikan tangannya kaku.

Queyra hanya tersenyum lemah. Tiba-tiba Fitaloka memeluknya, membuat Queyra menggeleng, karena dadanya masih terasa sakit.

“Quey! Gue kangen banget sama lo!”

Hafidz yang tau akan ekspresi wajah Queyra menahan sakit pun, menjauhkan Fitaloka dari jangkauannya. “Maaf, Queyra masih sakit. Sebaiknya kamu jangan terlalu memeluknya erat, dia kesakitan.”

Fitaloka mengerucut bibirnya. “Ih! 'kan aku kangen, Dok. Masa iya nggak boleh peluk?”

Hafidz menghela napas panjang. “Queyra masih sakit, dia kelihatan tertekan tuh, kamu peluk dia kenceng tadi.”

Fitaloka terdiam, melirik Queyra yang memandangi semua orang yang menjenguknya dengan tatapan lemah. “B-beneran Quey?”

Queyra menganggukkan kepalanya pelan. Fitaloka meneguk ludahnya tidak enak. “Q-quey ... gue minta maaf—”

“Sudah-sudah! Biarkan anak saya beristirahat. Dia baru saja sadar,” ujar Lando berjalan mendekati Queyra.

Tatapan Queyra bertemu dengan mata merah milik Lando. Pria paruh baya itu terlihat kacau, seperti sering begadang, atau mungkin banyak pikiran, hingga berujung kelelahan.

Lando mengusap-usap puncak kepala Queyra, menciumnya beberapa kali, lalu bertanya. “Kenapa kamu menyembunyikan penyakit separah ini sama Papah?”

Queyra tetap bungkam, dengan air mata yang mengalir membasahi bahunya yang terbalut baju pasien.  Tangan Lando menggenggam erat pergelangan tangan mungilnya, tangan yang kurus, putih, namun terdapat beberapa sayatan yang dulu pernah ia torehkan.

Lando mengusap bekas sayatan tepat di pergelangan tangannya. “M-maafkan Papah, Nak. Papah bukan Papah yang baik untuk kamu, Quenza, Kak Liza dan kak Rendi. Papah sulit mendidik kalian, Papah gagal menjadi tulang punggung kalian. Maafkan Papah.”

Mendengar lirihan rapuh dari Lando membuat dadanya semakin sesak. Queyra meremas selimut tebal yang membungkus seluruh badannya, tangan kurus yang dililitkan selang infus itu, kini terangkat, mengusap wajah kasar Lando.

“P-papah h-hebat ...” ungkapan Queyra terdengar tertatih, menahan napas yang sulit ia atur karena alat bantu pernapasannya rasanya tidak berfungsi dengan normal.

THE REAL ANTAGONIST [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang