Quenza berjalan menyusuri jalanan sepi dengan tangisan yang belum mereda. Hatinya terasa sesak, mengingat kenangannya bersama Valdes selama beberapa bulan ke belakang.
Senyuman tulus dari Valdes, perhatian Valdes, dan kemarahan laki-laki itu, terngiang-ngiang di kepalanya seperti kaset yang diputar beberapa kali.
Rintik hujan turun berjatuhan mengenai kepalanya, seakan-akan semesta mewakili isi hatinya yang sedang bersedih. Tangis tawa menyedihkan, menyatu dengan buliran air hujan yang mengalir membasahi pakaiannya saat ini.
Quenza basah kuyup. Semakin lama hujannya semakin deras, Quenza berteriak keras. Melampiaskan kemarahannya dibawah langit mendung. Kakinya melangkah, mendekati ujung tihang jembatan.
“AGHHH!! GUE BENCI SAMA LO VALDES!!” teriak Quenza nekat merentangkan kedua tangannya, menikmati rintikan hujan yang membasahi tubuhnya.
Ia mendongakkan kepalanya, melihat langit yang mulai menghitam. Tatapannya beralih kepada jalan tol yang terlihat sepi. Di atas jembatan panjang ia tertawa miris, menertawai kehidupannya yang terasa tidak berarti.
“GUE CAPEK HIDUP KAYAK GINI TERUS! TUHAN!!” Untuk kesekian kalinya Quenza berteriak histeris. Menekan dadanya yang berdebar kencang.
Di abaikan oleh Valdes beberapa hari saja membuat hidupnya terasa hampa. Bagaimana untuk kehidupan selanjutnya? Apa Quenza sanggup menjalani kehidupan tanpa sosok Valdes yang menjadi tombak pelindungnya?
Quenza mengepalkan tangannya penuh kemarahan. Ia menaiki pagar jembatan tol, guna meredakan emosinya yang kian memuncak.
Namun ketika ia mengangkat kakinya, tiba-tiba ia terpeleset karena pagarnya licin, terkena air hujan.
“AAAA!!”
Brukh!
Quenza meneguk ludahnya susah payah. Dibawah guyuran hujan, seorang laki-laki menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Quenza membuka matanya perlahan, melihat siapa yang telah menolongnya saat ini.
“Lo gila! Lo mau bunuh diri? Hah! Gue tau hidup lo sekarang lagi hancur. Tapi gunain otak pinter lo buat berpikir genius. Bunuh diri nggak akan pernah bisa nyelesain semua masalah yang lo tanggung sekarang.” Maki orang itu menatap Quenza dengan sorot mata tajam.
Quenza tampak shock bukan main. “F-farhan.”
“Iya gue, Farhan. Orang yang nggak sengaja lewat jembatan tol, dan malah ketemu orang gila kayak lo!” sentak Farhan tersulut emosi.
Quenza berdengkus sebal. “Gue nggak gila yah!”
Farhan mendelik. “Kalau nggak gila, terus kenapa merentangkan tangan di atas jembatan? Jelas lo gila! Niat senam apa gimana? Pake acara manjat-manjat pagar jembatan segala lagi. Untung gue tolongin, kalau nggak, lo udah nggak bernyawa di bawah sana.”
Quenza menatap ngeri arah jalanan yang ditunjuk Farhan. Kakinya pun gemetaran saking kagetnya terpeleset, tadi. “G-gue—”
Brukh!
“Eh, eh! Lo kenapa?”
Farhan melotot kaget, mendapati Quenza yang ambruk di pelukannya. Untung saja mereka berdiri berdekatan, jika tidak, mungkin Quenza akan jatuh di bawah jembatan.
“Sumpah, ya. Lo cewek gila yang nyusahin gue! Udah waktu gue kebuang sia-sia. Baju gue basah kuyup. Lo malah pingsan, disaat gue buru-buru mau pulang. Aghh! Sialan!” gerutu Farhan mengangkat tubuh Quenza, memasuki mobilnya.
***
Setengah jam tidak sadarkan diri, Quenza mulai mengerjap-ngerjapkan kedua matanya, menyesuaikan cahaya yang masuk menguasai pandangan teduhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE REAL ANTAGONIST [SELESAI]
JugendliteraturQueyra Mike Cralita. seorang Bad girl yang masih bertahan dalam penderitaan hidupnya. Sosok gadis yang rapuh dibalik raga yang terlihat tangguh. Keluarga bukan jaminan untuk Queyra bertahan hidup, akan tetapi takdir yang mendorong Queyra untuk teta...