Selesai dengan acara makannya tadi siang. Queyra mengajarkan Fitaloka agar mengganti gaya bicaranya seperti dirinya, menghilangkan kata aku-kamu dan menggantinya dengan lo-gue.
“Aku nggak bisa, Quey. Aku nggak pandai bicara gaul kayak kamu.” Fitaloka mendesah pelan. Jujur ia tidak bisa berbicara gaul seperti apa yang Queyra katakan.
“Tapi itu langkah utamanya. Yakin deh, lo bisa kalau terbiasa. Nggak papa di rumah lo ngomong pake bahasa yang lo suka. Tapi di luar beda lagi. Gimana sih, katanya mau berubah kayak gue, tapi gue ajarin lo ini-itu malah dibantah mulu.”
Fitaloka menggaruk-garuk kepalanya bimbang. “I-iya deh aku coba.”
“Gue Fit, gue! Bukan aku.” Peringat Queyra membuat Fitaloka mendengkus kesal.
“Iya-iya. Gue coba nih,” ketus Fitaloka terlihat pasrah.
Queyra tersenyum tipis. Lalu ia memperhatikan pakaian yang dikenakan Fitaloka, kepalanya menggeleng ke kanan dan ke kiri, membuat Fitaloka menatapnya sinis.
“Ngapain kamu liatin aku kayak gitu?” tanya Fitaloka seakan lupa dengan bahasa yang Queyra ajarkan barusan.
“Penampilan lo masih cupu. Coba rambutnya diikat satu, tanpa jepitan warna pink. Dan itu kacamatanya lepas dulu.”
Queyra menarik jepitan rambut Fitaloka membuatnya sama sepertinya. Bukan itu saja, dengan sengaja Queyra mewarnai rambut hitam Fitaloka menjadi warna oranye pirang.
Fitaloka yang seakan syok pun hanya diam tanpa berkomentar. Setelah selesai Queyra pun tersenyum membanggakan. “Nah, kalau gini 'kan bagus. Kelihatan kekinian, nggak norak lagi deh lo.”
“Quey? Ini aku? Kok beda banget?” tanya Fitaloka melihat wajahnya di depan cermin.
Queyra tersenyum tipis. “Iyalah itu lo, cantik 'kan?”
“Banget,” ucapnya tanpa sadar.
“Tapi masih cantikan gue sih ha ... ha ...”
Fitaloka tidak menjawab ucapan Queyra, ia masih kaget melihat wajahnya yang ditambahkan make up tipis oleh Queyra, serta gaya rambutnya yang terlihat berbeda. Ia masih tidak menyadari kalau wajahnya memiliki kadar kecantikan yang cukup memuaskan.
Queyra ikut senang melihat Fitaloka yang terlihat bahagia memandang penampilan barunya. Setelah beberapa menit, Queyra baru teringat dengan jadwalnya yang harus segera cuci darah.
Astaga! Kok gue bisa lupa sih! Batinnya berbicara demikian.
“Ehh Fit, maaf ya gue nggak bisa lama-lama mainnya. Ada urusan di rumah. Btw makasih tumpangan makannya tadi siang, titip salam sama keluarga lo ya. Gue pamit.”
“Hm iya gapapa. Eh mau di anterin nggak? Kebetulan sopir Papah masih ada di bagasi. Mungkin dia lagi nyuci mobil Papah.”
Queyra menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nggak perlu, gue bisa naik ojek kok. Lagian gue nggak mau ngerepotin kalian, ya udah gue buru-buru bye!”
“Eh Quey!” teriak Fitaloka saat Queyra buru-buru keluar kamarnya. Fitaloka langsung mengejarnya hingga sampai gerbang rumahnya. Ketika Queyra sudah jauh dari pandangannya. Fitaloka kembali berteriak. “Quey! Makasih ya!”
Queyra tidak menjawab teriakan Fitaloka. Ia hanya sibuk berlari ke arah parkiran ojek yang tidak jauh dari rumah Fitaloka.
“Yah gue telat. Tukang ojeknya udah pada pergi. Aaa gimana ini? Mana gue nggak punya hp lagi, masih disita sama Papah. Aaaa!” teriak Queyra frustasi.
Dengan terpaksa Queyra berjalan kaki untuk sampai ke rumah sakit langganannya. Saat diperjalanan Queyra merasakan pusing dan kepalanya pun terasa sakit, Apalagi jantungnya yang sedari tadi berdenyut nyeri.
Ya Tuhan! Gimana ini...
Ketika Queyra melangkah, kakinya terasa lemas. Dan ia pun tergeletak tak berdaya di tengah jalanan yang sepi. Queyra memejamkan matanya sejenak, berharap rasa pusingnya menghilang untuk sesaat.
“Quey! Queyra!”
Seakan tersadar Queyra membuka matanya secara perlahan. Tetapi tubuhnya lemas untuk di angkat. Ia hanya bisa bergumam tidak bisa menjawab seseorang yang memanggil namanya.
Ia merasakan tubuhnya di angkat oleh seseorang dan membawanya ke mobil. Queyra ingin membantah, namun mulutnya tertutup akibat rasa lemasnya yang tidak bisa di tahan lagi.
Sedangkan seseorang yang kini membantu Queyra tengah dilanda kecemasan dan kekhawatiran. Entah apa yang ia rasakan saat ini, intinya ia ingin cepat-cepat sampai ke rumah sakit untuk mengecek keadaan Queyra yang sedang pingsan saat ini.
****
Farhan mengacak rambutnya frustasi. Tadinya ia akan pulang ke rumahnya, namun saat dijalan ia tidak sengaja melihat seseorang yang tergeletak di jalanan. Setelah ia menghampirinya, Farhan kaget karena orang itu adalah Queyra. Teman sebangkunya sekaligus orang yang membuatnya khawatir sampai kini.
“Dok, bagaimana keadaannya?” tanya Farhan saat melihat Dokter yang menangani Queyra keluar.
“Dia baik-baik saja. Ia hanya kelelahan dan lupa meminum obatnya. Jantungnya melemah saat suhu tubuhnya naik, kalau dia sudah sadar tolong beri dia makan. Saya lihat dia kekurangan asupan gizi.”
Farhan menganggukkan kepalanya. “Baik Dok, apa sekarang saya boleh menjenguknya?”
“Silahkan, kabari saya kalau gadis itu sudah sadar.”
Farhan menganggukkan kepalanya kembali sebagai jawaban. Setelah itu ia memasuki ruangan Queyra yang berada di dalam.
Kakinya melangkah, mendekati Queyra yang masih berbaring di atas ranjangnya. “Sebenarnya lo tuh kenapa sih, Quey? Kenapa setiap kali gue ketemu lo, lo malah pingsan dan berujung di rumah sakit. Gue penasaran Quey. Apa yang sebenarnya lo sembunyiin dari gue.”
Farhan hendak memegang tangan Queyra. Tetapi belum sempat menyentuhnya, Queyra terburu membuka matanya dan membuat Farhan menjauhkan tangannya dari Queyra.
“Lo udah bangun?” tanya Farhan saat Queyra sudah mulai siuman.
Queyra terdiam lama. “L-lo?! Lo kok bisa disini? Terus gue kenapa?”
Farhan mengernyitkan dahinya heran. “Lo di rumah sakit, tadi lo pingsan di jalan. Untung aja gue lewat, terus gue bawa lo kesini. Bentar ... gue panggilin Dokter dulu.”
Farhan memencet bel agar Dokter yang menangani Queyra segera datang. Sedangkan Queyra menggigit bibir bawahnya gugup.
Astaga, bagaimana kalau Farhan tau tentang penyakit gue? Aaa Queyra bodoh!
================================
11/05/22
KAMU SEDANG MEMBACA
THE REAL ANTAGONIST [SELESAI]
Novela JuvenilQueyra Mike Cralita. seorang Bad girl yang masih bertahan dalam penderitaan hidupnya. Sosok gadis yang rapuh dibalik raga yang terlihat tangguh. Keluarga bukan jaminan untuk Queyra bertahan hidup, akan tetapi takdir yang mendorong Queyra untuk teta...