=20= Kenyamanan.

5.6K 342 6
                                    

“Kata dokter, lo harus banyak makan. Supaya badan lo enakan, dan bisa cepet pulang,” ucap Farhan menyuapi bubur ke mulut mungil milik Queyra.

Gadis itu melamun sejak dokter membicarakan mengenai penyakitnya yang sudah di ambang kematian, ia takut jika ia mati dalam keadaan yang mengenaskan. Apalagi cita-cita yang ia dambakan belum tercapai sampai sekarang.

Farhan yang melihat Queyra melamun seperti itupun rasanya tidak tenang, tatapan matanya mengisyaratkan kesedihan yang mendalam. Tangannya turun melepaskan sendok yang berada di genggaman tangannya.

Laki-laki itu menaruh mangkuk bubur di atas meja. Menatap Queyra yang tengah asik melamun tanpa memperhatikan sekitarnya. “Lo mikirin apa si, Quey?”

Queyra seakan sadar begitu saja akan pertanyaan yang Farhan kian lontarkan. Gadis itu mengalihkan pandangannya, menatap Farhan. “G-gue nggak mikirin apa-apa, kok.”

“Bohong. Lo pasti nyembunyiin sesuatu dari gue, 'kan?” Tatapan Farhan berubah serius, membuat Queyra merasa gelisah tak menentu.

Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, berusaha menghindari tatapan tajam darinya. “Gue nggak papa, gue cuma kecapean aja.”

Farhan menghela napas panjang. Ia beranjak dari duduknya berniat untuk pergi, namun ketika hendak melangkah keluar, tangan kanan Queyra menggenggam tangannya.

“Lo mau kemana?” tanya Queyra kebingungan.

“Nemuin dokter tadi, sekalian bayar biaya rumah sakit.”

Queyra menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak! Farhan tidak boleh tahu tentang penyakitnya. Gawat kalau Farhan mengetahuinya, ia akan menganggap Queyra adalah perempuan penyakitan. Dan ia tidak mau itu semua terjadi.

“Lo nggak usah repot-repot bayar biaya rumah sakit. Gue juga bisa bayar sendiri, dan jangan coba-coba lo ikut campur urusan gue.” Queyra bangkit dari tempat tidurnya, menghalangi Farhan yang hendak menemui dokter yang menangani Queyra saat dirinya pingsan.

Farhan terdiam kaku melihat wajah Queyra yang memucat, apalagi ia merasakan ada sesuatu yang mengganjal sedari tadi. “Gue nggak ikut campur urusan lo, gue cuma mau bicara serius tentang penyakit yang lo sembunyikan dari orang-orang, termasuk gue sendiri.”

Deg

Tatapan Farhan semakin tajam nan menusuk, tatapan itu tertuju kepada mata sayu milik Queyra. Ada tanda-tanda kekhawatiran dan kegelisahan yang membuat Farhan penasaran mengenai hal ini.

“G-gue nggak bohong, gue nggak nyembunyiin apapun dari orang-orang.” analog Queyra berbohong.

“Kalo seandainya lo nggak bohong, kenapa lo gugup gitu? Panik?” tanya Farhan seakan memancing keadaan.

Queyra dibuat gelagapan oleh pertanyaannya saat ini, ia yakini rahasia terbesarnya akan terbongkar dengan sendirinya. Queyra berusaha menetralkan wajahnya agar terlihat tenang.

“Gue nggak gugup, kok.” Jawaban itu kian muncul dari mulut mungilnya.

Farhan yang melihat wajah Queyra yang ketakutan seperti itupun, rasanya ingin tertawa terbahak-bahak. Tetapi ia tahan agar rasa penasarannya itu terbalaskan dengan bukti yang nyata.

Tanpa pikir panjang lagi, Farhan melangkahkan kakinya keluar ruangan. Lagi dan lagi Queyra menghalanginya.

“L-lo mau kemana?”

Farhan menaikkan satu alisnya kebingungan. “Kan gue udah bilang tadi, gue mau bayar biaya rumah sakit.”

“Gue bisa bayar sendiri,” ketus Queyra tidak mau merepotkan Farhan untuk kesekian kalinya.

Tidak mau kalah Farhan mengejar Queyra yang sudah hampir dekat dengan ruangan administrasi. Namun ketika sudah sampai, Queyra baru ingat kalau dirinya tidak membawa uang lebih, selain uang jajan yang tentunya tidak cukup untuk membayar biaya pengobatannya saat ini.

Farhan menatap punggung Queyra dengan kedua alis terangkat. “Lo kok diem, ayo bayar.”

Queyra membalikkan badannya, menatap Farhan penuh harap. “Please kali ini aja. Gue m-minjem uang lo, ya.”

Farhan membekap mulutnya naas tertawa ngakak. Melihat respon laki-laki itu yang tampak menjengkelkan, membuat Queyra malu setengah mati.

“Jangan bilang lo juga nggak bawa duit?” tebak Queyra yang di hadiahi pelototan tajam darinya.

“Eh enak aja lo ngomong. ATM gue banyak, hati-hati loh kalo ngomong.”

“Ya udah, gue pinjem!” gertak Queyra menyatukan kedua telapak tangannya, memohon.

Farhan mengacak rambut Queyra yang tampak menggemaskan di hadapannya. “Iya-iya, sabar aja kali.”

Queyra menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Melirik Farhan yang mengeluarkan ATM nya dari saku celananya, lalu memberikannya kepada petugas administrasi.

“Udah?” tanya Queyra saat Farhan memasukkan kartu ATM miliknya.

“Udah,” jawabnya demikian.

“Berapa?” tanya Queyra kembali. “Besok gue bayar, di sekolah.”

“Nggak perlu,” ucap Farhan menarik Queyra, kembali ke ruang ICU.

Queyra menepis genggaman tangannya. Menatap Farhan kebingungan. “Lah, kok nggak perlu? 'kan gue punya hutang sama lo.”

Laki-laki itu menghela napas panjang. Memegangi kedua pundak Queyra agar tatapannya fokus tertuju padanya. “Keselamatan nyawa lo yang terpenting saat ini, jangan banyak pikiran. Apalagi mikirin hutang lo ke gue. Gue nggak mau riya, intinya gue ikhlas bantu lo.”

“Tap—.”

“Sut! Nggak ada bantahan. Sekarang lo istirahat, makan. Habis itu kita pulang,” ucap Farhan menarik tangan Queyra untuk masuk ke ruang ICU kembali.

Queyra hanya bisa patuh, mengikuti arahan Farhan. Ia tidak tahu akan perasaannya saat ini. entah kenapa, ia merasakan kenyamanan ketika berada di dekat Farhan.

================================

27-04-23

THE REAL ANTAGONIST [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang