=36= Pengakuan.

7.3K 379 5
                                    

Valdes menundukkan kepalanya, menatap nampan yang disodorkan Quenza dengan tatapan nanar. Tangannya tidak berhenti menarik-narik ujung bajunya sendiri, mencoba menghilangkan rasa gugup yang menguasai tubuhnya.

“Des, makan dulu. Nanti aja cerita sama Papah nya,” bisik Quenza menggenggam tangan Valdes yang dibanjiri keringat dingin.

Valdes menggeleng pelan, meneguk ludahnya gusar. “G-gue nggak tenang lihat tatapan Papah kayak gitu.”

Quenza melirik Lando sekilas. “Dingin plus datar banget ya?”

Valdes menganggukkan kepalanya, mengiyakan. “Ya kayak—”

“Kenapa kalian bisik-bisik? Valdes. Pindah tempat! Jangan dekat-dekat Quenza. Nanti Queyra marah lagi sama kamu,” celetuk Lando membuat semua orang yang berada di meja makan melotot kaget.

“P-papah nggak salah ngomong? Orangnya udah nggak ada disini loh, tumben banget perhatiin Queyra?” Eliza terkekeh renyah, mungkin Lando sedang bercanda.

Lando memicingkan sudut matanya tajam. “Tidak ada yang salah dengan ucapan Papah. Valdes, menjauhlah dari Quenza. Kamu lagi, plin-plan banget jadi anak. Sebenarnya siapa yang kamu incar? Quenza atau Queyra? Kemarin saya lihat kamu agresif buat deketin Queyra. Sekarang Papah lihat malah nempel-nempel sama Quenza.”

Valdes meneguk ludahnya gugup. “A-aku—”

“Udahlah, Pah. Namanya juga anak abg, wajar aja nggak sih kalau mau deket-deket sama siapapun. Toh Queyra udah nggak ada disini, jadi nggak perlu repot-repot mikirin dia.” Potong Eliza mengibaskan rambutnya yang tergerai bebas.

Di bawah meja makan, tangan Lando terkepal kuat. Menahan amarah yang siap ia luapkan saat ini juga. Namun, mengingat ini acara makan malam. Sebisa mungkin ia menahannya, agar tidak membuat kekacauan dan berujung anak-anaknya marah, mogok makan.

“Lupakan. Papah tidak membuka sesi perdebatan di acara makan kita malam ini.” Tegas Lando memakan makanannya dengan khidmat.

****

Hafidz memperhatikan gerak-gerik Queyra yang sedari tadi melamun, tersenyum. Lalu menggaruk-garuk kepalanya tidak jelas. Hafidz tersenyum tipis, membuka pintu ruang rawat Queyra, lalu langsung duduk di tepi ranjang.

“Bosan ya? Mau keluar?” tanya Hafidz kepada Queyra yang mengerjap-ngerjapkan kedua matanya polos.

“Kan udah malem, Dok? Bukannya nggak baik buat pasien penyakitan kayak aku keluar malem-malem?”

Hafidz terkekeh gemas, menganggukkan kepalanya membenarkan. “Memang tidak baik. Tapi melihat kamu merenung sendirian, saya tidak tega melihatnya. Mungkin kamu butuh sedikit hiburan di luar.”

Queyra menggembungkan pipinya membuat Hafidz geregetan ingin mencubit pipi tirusnya itu. “Hmm kayaknya enak sih main di luar.”

Hafidz tersenyum menanggapinya. “Ayok, kita main di taman belakang rumah sakit saja. Tidak jauh, tempatnya bersebelahan dengan kamar rawatmu.”

Queyra menganggukkan kepalanya bersemangat. Hafidz pun membantu Queyra untuk duduk di kursi roda elektrik yang sudah disediakan di pojok ruangan.

Tapi sebelum Hafidz mendorong kursi rodanya, ia melepaskan jas dinas kedokterannya. “Pakai ini, biar kamu nggak kedinginan.”

Queyra tersenyum tipis. “Makasih, Dok.”

Hafidz menganggukkan kepalanya pelan. Seulas senyuman terbit di sudut bibirnya yang tipis itu. Keduanya pun keluar dari ruang rawat Queyra. Banyak para Dokter dan juga Suster yang menatap mereka, bertanya-tanya dan bergosip ini-itu. Namun Hafidz tidak menanggapi ocehan mereka dan tetap melanjutkan langkahnya menuju taman belakang rumah sakit.

THE REAL ANTAGONIST [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang