Langkah penuh kekeselaan Flora terhenti di depan lobi. Ia terdiam beberapa saat, lalu mengembuskan napas frustrasi seraya menunduk dalam. Flora hanya bisa unjuk rasa sampai di sini. Ia tidak bisa pulang terlebih dahulu karena tidak membawa uang sepeser pun. Ponsel juga ia tinggalkan di kamar karena tidak mengira akan pergi dadakan seperti ini.
Sambil berusaha menetralkan semua gemuruh yang bergolak dalam dada, Flora pun duduk di kursi kayu. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan kasar.
Selama mengenal sosok Bu Lydia, Flora memang tidak pernah dibuat kecewa. Perempuan paruh baya itu sangat baik, penuh kasih sayang, dan keibuan. Setiap kali bertemu, kesan hangat yang selalu ditinggalkan beliau di hati Flora. Bu Lydia juga senang memberi, entah itu barang lucu atau aneka kue yang rasanya tidak perlu diragukan lagi.
Namun, kebaikan itu tidak pernah menjadi angan-angan Flora menjadi menantu Bu Lydia. Apalagi setelah tahu bahwa putra perempuan anggun itu adalah Madhava Noar Basunjaya, dosen ketus yang sangat disiplin dan pelit nilai.
"Flora."
Sang empu nama justru membuang muka ketika dipanggil.
"Boleh ayah duduk di sini?"
Tidak ada jawaban. Flora enggan buka suara, supaya sang ayah tahu dirinya tengah kecewa.
Pak Ikram pun duduk di samping sang putri. Diraihnya jemari lentik Flora dengan penuh kelembutan. "Rasanya baru kemarin kamu lahir ke dunia ini, Sayang. Sekarang udah besar aja, udah dua puluh tahun," ucapnya, berusaha mencairkan suasana. "Ayah masih ingat waktu pertama kali kamu panggil bunda sama ayah. Kami berdua senang sekali. Terus, waktu kamu belajar jalan, ayah sempat takut karena kaki kamu terlalu kecil. Waktu kamu jatuh dari sepeda, ayah sangat merasa bersalah dan sempat berpikir untuk tidak mengajarkan kamu lagi."
Hati Flora melunak perlahan. Dia pun ingat kejadian itu, saat usianya masih 6 tahun. Sikut dan lutut Flora berdarah karena membentur aspal. Ayahnya panik bukan main saat itu. Beliau bersikukuh membawa Flora ke rumah sakit walaupun tahu lukanya bisa ditangani dengan obat merah. Lucunya lagi, yang menangis sepanjang perjalanan bukanlah Flora Kecil, melainkan ayahnya yang duduk di kursi kemudi.
"Walaupun sekarang kamu sudah dewasa, sudah bisa bicara dengan lancar di depan umum, bisa pergi ke mana aja sendirian, bisa mengambil keputusan untuk hidup kamu, tapi kekhawatiran itu masih ada. Semakin kamu besar, semakin banyak rasa takut yang bersarang di hati ayah dan bunda. Terutama tentang pasangan."
Kali ini, Flora pun menoleh. Ia membalas tatapan dalam sang ayah. Walaupun samar, tetapi Flora bisa melihat netra laki-laki tercintanya itu sedang berkaca-kaca.
"Hati ayah sakit ketika mengetahui alasan kamu putus dengan mantan-mantan kamu. Karena terlalu mementingkan organisasi, terlalu mendahulukan sahabat, bahkan yang terakhir karena berselingkuh. Ayah mana yang rela anaknya diperlakukan tidak baik seperti itu? Tidak akan ada, Sayang."
"Ayah gak perlu mikirin itu lagi. Semuanya udah berlalu." Akhirnya Flora mau buka suara. "Aku juga udah gak sedih lagi perkara Kevin, kok. Aku udah lupain dia, udah gak ada rasa apa-apa lagi."
Pak Ikram menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam kesedihan yang tiba-tiba menyelimuti dada. Kemudian, ia berkata, "Ayah mengenal Madhava dengan sangat baik, Flo. Sebagai pengacara, dia berintegritas tinggi dan tidak pernah membela pihak yang salah. Sebagai seorang anak, dia sangat menyayangi orang tuanya. Sebagai laki-laki biasa, ayah percaya dia mampu mencintai pasangannya dengan baik."
"Tapi, Yah ...."
"Ayah dan bunda akan tenang jika Madhava yang menjadi suami kamu, Nak. Dia pasti bisa menjadi imam yang baik untuk kamu. Begitu pula dengan Tante Lydia, bisa pulang dengan damai setelah permintaan terakhirnya dikabulkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Emergency Wedding [Terbit]
Romance"Gue sumpahin tuh dosen dapet istri kayak setan! Biar tahu rasa!" Percayalah, Flora sama sekali tidak bermaksud mengutuk Madhava, dosen galak yang sangat menyebalkan. Ia berkata demikian hanya untuk meluapkan kekesalan karena tidak diizinkan masuk k...