2. Her Last Wish

114K 7.2K 160
                                    

Sebuah mobil SUV hitam berhenti di satu titik area parkir yang luas. Selama beberapa saat, kendaraan roda empat itu sempat kebingungan mencari tempat istirahat. Memang, dari pintu masuk sampai titik paling ujung, tempat itu dipenuhi dengan kendaraan aneka warna dan merk. Itu artinya, ada banyak orang yang memutuskan untuk bermalam di gedung megah di depan sana, menemani keluarga mereka.

Setelah melepas sabuk pengaman, Madhava enggan untuk keluar. Ia justru menempelkan seluruh permukaan punggungnya ke sandaran kursi kemudi, lalu membuang napas panjang. Ia takut untuk masuk. Nyalinya belum terkumpul sempurna untuk menemui sang mama, sekalipun cheese cake yang beliau pesan sudah duduk manis di kursi sebelah.

Sejak tiga bulan lalu, kehidupan seorang Madhava Noar Basunjaya dipenuhi ketakutan. Sekalipun sebentar lagi usianya menginjak kepala tiga, Madhava akan selalu menjadi bocah cengeng jika sudah menyangkut orang tua. Setiap kali mengingat sang mama sedang berjuang melawan kanker otak, kedua netra hitam Madhava akan selalu memanas.

Madhava takut kehilangan perempuan terkasihnya.

Madhava tidak siap untuk ditinggalkan.

"Makan kamu teratur, kan, Sayang?"

"Sedang diusahakan, kok, Ma."

"Beli online aja, ya, jangan makan mie mulu."

Perhatian Madhava beralih pada seorang perempuan yang melewati mobilnya. Selama beberapa saat, Madhava mengikuti pergerakan perempuan yang sibuk dengan ponsel itu. Hingga akhirnya, ia menyambar cheese cake di sampingnya lalu keluar dari mobil. Dalam jarak tiga meter, Madhava terus mengekori langkah sang perempuan.

"Bunda kapan pulang, sih? Gak lupa masih punya anak, kan?"

"Bunda usahakan untuk pulang besok. Tapi gak janji, ya, tergantung kondisi Tante Lydia," ucap perempuan paruh baya itu.

"Tapi, keadaan Tante Lydia membaik, kan? Bunda bilang kemarin sempet gak sadarkan diri." Suara merajuk di seberang sana berubah lebih dewasa seketika.

"Alhamdulillah, jauh lebih baik. Sekarang udah bisa diajak ngobrol, makan sendiri, bahkan ke kamar mandi. Tapi, itu bukan berarti kita gak harus waspada. Dokter bilang keadaan Tante Lydia bisa drop kapan aja."

Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana. "Semoga Tante Lydia cepet sembuh, ya, Bun. Hati aku sakit banget waktu lihat foto yang Bunda kirim tadi."

"Iya, Sayang. Semoga, ya."

Dalam hati, Madhava mengaminkan ucapan gadis di seberang sana. Jika suara batinnya bisa terdengar, mungkin akan menggelegar ke setiap sudut rumah sakit.

Madhava baru berani mempercepat langkahnya ketika perempuan paruh baya di depan sudah tidak sibuk lagi dengan ponsel. "Dari mana, Tan?"

Perempuan paruh baya itu menoleh. "Lho, Madha?" Beliau menepuk tangan lelaki itu pelan. "Tante dari depan, habis beli tisu."

"Padahal Tante tinggal telepon saya aja. Pasti capek jalan dari ujung ke ujung."

"Gak apa-apa. Itung-itung olahraga."

Hanya sebuah senyum tipis yang bisa Madhava berikan. Ia pun bergerak memijit tombol lift dan mempersilakan perempuan yang bersamanya untuk masuk terlebih dahulu.

Beliau adalah Bu Arini, sahabat mamanya Madhava-Bu Lydia. Pasti gadis dengan suara manja di panggilan video tadi adalah putrinya. Yang Madhava dengar, Bu Arin harus rela meninggalkan putri semata wayangnya di rumah sendirian, demi bisa mendampingi mamanya. Bukan berarti keluarga tidak mendukung di masa sulit yang sedang berlangsung. Namun, kehadiran seorang sahabat tetap memiliki arti tersendiri, bukan?

Emergency Wedding [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang