Entah mengapa, seharian ini Madhava merasa menjadi pusat perhatian banyak orang. Ke arah mana pun ia mengedar pandangan, pasti ada saja pasang mata yang tengah melihatnya. Ketika Madhava membalas sorot ingin tahu mereka, para mahasiswa pasti akan langsung memalingkan wajah. Terdengar pula desas-desus yang menyebut nama Madhava.
"Eh, itu Pak Madha. Udah, jangan ngomong lagi."
"Gue kepo, tapi gak berani nanya. Gimana, dong?"
"Kira-kira ceweknya siapa, ya? Gue curiga dari kalangan artis, mengingat Pak Madha keturunan konglomerat."
Walaupun terdengar jelas mereka sedang membicarakan dirinya, tetapi Madhava tidak mau ambil pusing. Selama tidak ada yang bicara langsung di depan wajahnya, Madhava merasa tidak perlu menanggapi semua itu. Sepertinya benar yang dikatakan Flora, para mahasiswa biasa bergosip.
Namun, sikap tak acuh Madhava itu tidak bisa bertahan lebih lama ketika melihat Flora tengah berdiri di depan ruang dosen. Gadis itu melipat tangan di depan dada, melengkapi wajahnya yang terlihat garang. Kaki kanannya tak brhenti bergerak, menandakan kesabaran yang ada dalam dirinya sangatlah tipis. Dari kejauhan, Madhava bisa melihat urat tegang di kedua pelipisnya. Ketika netra mereka bertemu, entah mengapa Madhava merasa bahaya sedang menantinya.
"Kita perlu bicara!" cetus Flora, disertai penekanan tak terbantahkan.
"Bicara tentang apa?" tanya Madhava, sedang memastikan nyawanya terancam atau tidak.
"Tentang kelakuan Bapak!"
Dahi Madhava berkerut. "Emang saya kenapa?"
"Iiih! Gak usah banyak tanya, deh. Saya gak bisa ngomong di sini, nanti ada yang denger. Kita butuh ruang yang lebih privasi!"
Untuk beberapa saat, Madhava hanya memperhatikan Flora. Gadis itu sedang marah, terbukti dari sorot matanya yang begitu tajam. Madhava jadi mempertanyakan statusnya sebagai dosen yang paling ditakuti di Fakultas Hukum. Namun, pada akhirnya, Madhava mengajak Flora ke ruangannya.
Setelah celingak-celinguk-memastikan tidak akan ada yang menguping-Flora pun menyimpan ponselnya ke atas meja kerja Madhava. "Apa maksud postingan ini?"
Madhava pun meraih penda pipih itu. Ia melipat bibir, tak mengira jika 'kenakalan' kecilnya ini akan tercium Flora dengan cepat.
"Bapak mau bongkar hubungan kita atau gimana? Bapak mau kasih tahu ke semua orang kalau saya ini istri Bapak?" desak Flora lagi. "Kan, saya udah bilang, saya gak siap jadi bahan gosip satu kampus. Mental saya cemen, gak kayak Pak Madha yang bisa gak ambil pusing sama omongan orang lain."
Embusan napas panjang keluar dari bibir tipis Madhava. Berbeda dengan Flora, matanya memancarkan kelembutan seorang pria. "Sudah? Saya bisa bicara sekarang?"
"Boleh!" jawab Flora dengan napas memburu.
"Saya hanya berusaha untuk mengusir perempuan yang mengganggu saya. Walaupun hanya menanyakan tugas, saya merasa tidak nyaman dibuatnya. Kenapa harus kamu? Karena kamu istri saya. Saya tidak izin terlebih dahulu karena kamu sudah tidur semalam dan saya sudah terlanjur lupa," cetus Madhava dengan cepat.
Napas Flora mereda perlahan. "Emang siapa yang mau deketin Bapak?"
"Saya tidak bilang dia mau mendekati saya, Flora. Dia hanya menanyakan tugas."
"Iya, siapa?"
"Windy."
Amarah yang sirna beberapa detik lalu, kini kembali bergejolak. "Emang tuh cewek gak punya malu! Semua cowok aja dia embat! Dasar, Medusa! Pelakor!"
Madhava geleng-geleng kepala. Ia pun segera mengeluarkan satu botol air mineral dari laci meja. Setelah membuka tutupnya, Madhava menyerahkan botol itu pada Flora. "Minum dulu, supaya amarah kamu tidak terlalu meledak-ledak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Emergency Wedding [Terbit]
Romance"Gue sumpahin tuh dosen dapet istri kayak setan! Biar tahu rasa!" Percayalah, Flora sama sekali tidak bermaksud mengutuk Madhava, dosen galak yang sangat menyebalkan. Ia berkata demikian hanya untuk meluapkan kekesalan karena tidak diizinkan masuk k...