5. The Blackest Wound

100K 7.6K 141
                                    

Kematian memang akan selalu menjadi perpisahan paling menakutkan bagi manusia. Mereka yang saling mencinta tidak akan lagi tinggal di bawah langit yang sama. Tak peduli seganas apa kerinduan menyiksa sanubari, pertemuan tidak akan pernah bisa didapatkan untuk mengobati. Serangkaian cerita yang dihiasi suka dan duka hanya akan menjadi sebuah kenangan. Hanya doa yang bisa disuguhkan sebagai bentuk kasih sayang.

Siang itu, Flora menyaksikan secara langsung semenyedihkan apa perpisahan karena kematian. Air mata tidak ada hentinya mengiringi kepulangan Bu Lydia. Walaupun sangat ingin meraung, semua orang tetap melangkah maju untuk mengantarkan Bu Lydia ke peristirahatan terakhirnya.

Flora setia berdiri di sana, di samping sang bunda yang terus menangis di pelukan ayahnya. Mata bengkaknya menyorot seseorang yang baru saja naik dari liang lahat, setelah mengumandangkan azan. Lelaki itu mengusap wajahnya dengan lengan secara kasar, lalu menyandarkan kepala pada seorang perempuan. Lagi dan lagi, Flora harus melihat Madhava menangis.

"Mama, Kak ...," lirih lelaki itu.

"Ssuutt .... Udah, jangan nangis terus. Kita tidak boleh meratapi kepergian mama secara berlebihan," ucap perempuan yang memeluk Madhava. "Walaupun berat, kita semua harus ikhlas supaya mama bisa beristirahat dengan tenang di sana."

"Tapi Madha tidak sempat bahagiakan mama, Kak. Madha tidak sempat bikin mama bangga."

"Semua yang kamu lakukan sudah cukup membuat mama bahagia, Madha. Apalagi kamu udah mengabulkan permintaan terakhir mama. Kakak lihat sendiri sebahagia apa mama waktu lihat kamu menikah."

Flora memalingkan wajahnya. Entah mengapa, hatinya selalu berdenyut sakit mendengar suara penuh lirih Madhava yang masih keberatan atas kepergian mamanya. Mungkin karena empati.

Perempuan yang dipeluk Madhava itu adalah Agatha, kakak perempuannya. Sedangkan laki-laki yang di sampingnya adalah Dean, suami Agatha. Flora berkenalan dengan keduanya tadi malam, sebelum dilaksanakan ijab kabul. Meskipun wajahnya terlihat jutek, tetapi Agatha sangatlah baik. Karakternya yang sangat hangat didapatkan dari sosok Bu Lydia.

Perhatian Flora teralihkan ketika tangan kanannya tiba-tiba ditarik. Ia segera menghapus air mata yang membasahi pipi. Walaupun terasa sangat kaku, Flora memaksakan bibirnya untuk tersenyum lebar. Lalu, ia pun berjongkok, menyamakan tinggi dengan anak laki-laki yang sedari tadi menggenggam tangannya.

"Kenapa, Sayang?" tanya Flora dengan suara serak, terlalu banyak menangis.

"Kok, oma dibiarin masuk tanah, Kak? Kasihan, nanti oma gak bisa napas."

Sontak saja Flora menggaruk kepala, bingung harus menjawab bagaimana atas pertanyaan Bryan-anak Agatha. "Semua orang yang sudah meninggal pasti akan dimakamkan seperti itu. Kamu gak perlu takut oma gak bisa napas. Kalau kita rajin mendoakan, oma pasti baik-baik aja."

"Jadi, oma akan terus di dalam tanah? Gak akan pulang ke rumah lagi?" tanya Bryan lagi.

"Iya. Mulai sekarang, inilah rumah oma. Kalau Bryan kangen, boleh datang ke sini kapan aja."

Wajah Bryan mengerucut seketika. "Kalau gitu, siapa yang nanti buatin aku kue lagi? Siapa yang nemenin aku main kalau mami sama papi lagi sibuk?"

Flora membelai puncak kepala Bryan dengan penuh sayang. Matanya kembali memanas mendengar ocehan anak itu. "Kan, sekarang ada Kak Flora. Nanti Kak Flora belajar bikin kue yang enak, biar bisa ngasih ke Bryan. Kak Flora juga yang akan nemenin Bryan main. Kalau perlu, nanti Bryan yang nginep di rumah kakak, gimana?"

"Beneran, Kak?"

"Bener, dong. Kakak yang mulai sekarang akan jadi temennya Bryan. Gimana? Mau, kan?"

"Mau, mau!" Bryan melompat penuh ceria. Lalu, dia mendekap leher Flora dengan kedua tangan mungilnya. "Aku janji akan jadi teman yang baik buat Kakak. Kak Flora gak boleh pergi kayak oma, ya."

Emergency Wedding [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang