7. Hide the Truth

100K 6.8K 209
                                    

Pergerakan Flora lantas melambat ketika mendapati sosok Madhava sedang duduk di ruang tengah. Lelaki itu sibuk dengan ponselnya, seperti sedang membalas pesan. Seperti biasa, ekspresi datar penuh ketenangan yang dipamerkan wajah tampannya.

Ya, Flora akui Madhava memang tampan. Jika mengenyampingkan sikap menyebalkannya sebagai seorang dosen, siapa pun pasti setuju bahwa setiap pahatan pada wajah Madhava nyaris sempurna. Alis tebal, hidung mancung, mata tajam, bibir tipis, juga rahang yang tegas. Belum lagi dengan tubuhnya yang tinggi tegap dan dada yang bidang. Perempuan mana pun pasti rela jatuh ke pelukan Madhava secara cuma-cuma.

"Kamu sudah siap?"

Lamunan Flora pun buyar ketika bariton Madhava menatap. Gadis itu menggeleng keras, berusaha mengusir pemikiran kotor yang bersarang di kepalanya.

"Bapak nunggu saya?" Flora malah balik bertanya.

Tanpa ragu, Madhava pun mengangguk. Seraya memasukkan ponsel ke saku celana bahannya ia berkata, "Iya. Tujuan kita sama, jadi berangkat bersama saja."

Flora mengusap telinganya, mendadak gatal setelah mendengar kalimat baku yang diucapkan Madhava. "Eh, gak usah, Pak. Jarak dari sini ke kampus deket, saya bisa naik ojek online aja. Biasanya juga gitu, kok."

"Tapi saya sudah menunggu kamu, Flora."

Senyum ramah yang baru terbit di wajah Flora luntur seketika. Ia menelan saliva susah payah, merasa terancam mendapati sorot mata Madhava berubah tajam dalam sekejap. "Kalau begitu, kita bareng aja. Biar waktu Pak Madha untuk menunggu saya tidak terbuang sia-sia."

Madhava mengangguk puas. Ia pun berbalik dan segera mengenakan sepatu pantofel hitam yang sudah tersedia di depan pintu. Sementara Flora bergegas mengambil flat shoes merah yang akan sangat cocok dengan blus bunga-bunga yang dikenakannya.

Sepanjang perjalanan, Flora sama sekali tidak bisa tenang. Ia terus menatap ke luar jendela, memindai satu demi satu pengendara di sekitar SUV hitam yang dibawa Madhava. Sungguh, ia takut ada orang kampus yang melihatnya. Bisa jadi gosip besar jika mahasiswi biasa seperti Flora berangkat kuliah bersama dosen killer seperti Madhava.

"Ini."

Suara berat Madhava berhasil membuat Flora terlonjak. Dengan mata yang membulat, gadis itu menoleh. "Ya, Pak?"

"Ini untuk kamu."

Flora menundukkan pandangan, menatap sebuah kartu debit biru yang diberikan Madhava. Walaupun ragu, ia tetap menerima benda tipis itu.

"Nafkah untuk kamu akan saya kirim ke kartu itu. Saya sudah tanya ayah kamu. Biasanya beliau kasih sepuluh juta per bulan," ucap Madhava tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan. "Saya lebihkan sedikit. Lima belas, cukup?"

Tanpa bisa ditahan, sudut bibir Flora ternagkat tinggi. Ia selalu suka jika membahas uang. "Cukup kalau buat kebutuhan saya. Tapi kalau ditambah uang dapur, listrik, air, beda lagi ceritanya."

"Kebutuhan rumah akan menjadi tanggung jawab saya. Yang akan ditransfer ke kartu itu murni untuk kebutuhan kamu saja."

"Lebih dari cukup," ungkap Flora dengan cepat. Tentu saja, masih dengan senyum yang merekah. Kemudian, ia menoleh kembali ke arah jalanan. "Eh, saya turun di depan aja, Pak. Tuh, di depan mini market itu aja."

"Kenapa tidak sampai kampus saja?"

"Karena saya gak mau jadi bahan gosip," jawab Flora seketika. "Apa kata orang kalau lihat saya nebeng sama Pak Madha? Apalagi setelah kejadian saya diusir dari kelas kemarin, saya bisa jadi bulan-bulanan satu kampus."

"Tinggal katakan saja bahwa kita suami istri."

Secepat kilat, Flora kembali memutar lehernya. Ia menatap Madhava dengan alis berkerut, heran dengan kalimat yang lolos dari bibir lelaki itu dengan begitu mudahnya.

Emergency Wedding [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang