"Pak, dandanan saya menor, gak?"
Madhava mengalihkan pandangan dari kancing baju koko putih yang dikenakannya. Ia memperhatikan wajah cantik Flora yang tengah menanti jawaban. "Tidak."
"Baju saya berlebihan, gak? Takutnya malah mengundang komentar yang negatif dari keluarga Bapak."
"Tidak. Cantik."
Flora kembali memperhatikan gamis biru dengan motif mawar berwarna putih. "Iya, sih. Ini bunda yang pilihin, pasti cantik."
"Kamu."
"Hm?" Flora mengangkat kepala untuk kembali menatap Madhava.
"Kamu yang cantik."
Satu detik, dua detik, sampai sepuluh detik berlalu, Flora dan Madhava saling memandang tanpa mengatakan sepatah kata pun. Hingga akhirnya Madhava membuang muka dan langsung keluar dari kamar. Ia setia berdiri di samping pintu, menunggu Flora siap keluar setelah apa yang baru saja terjadi di antara mereka.
Jemari lentik Flora terulur untuk menyentuh dada bagian kiri. "Kok, gue deg-degan, ya?"
Flora berusaha mengatur napasnya. Ia tidak boleh kehilangan fokus sekarang. Yang harus dihadapinya nanti adalah keluarga besar Madhava. Walaupun ada ayah dan bundanya yang menemani, tetapi Flora tidak boleh meninggalkan kesan buruk di Keluarga Basunjaya. Acara malam ini harus selesai tanpa penyesalan.
Setelah berusaha mengendalikan diri, Flora pun beranjak dari hadapan cermin. Dia sempat berdeham pelan ketika bertemu dengan sosok Madhava di luar kamar.
"Pegang tangan saya."
Baru saja jantung Flora terasa normal, Madhava sudah melakukan sesuatu yang hampir membuat kewarasan gadis itu goyah.
Tanpa permisi, Madhava pun meraih tangan Flora dan menggenggamnya erat. "Nanti jangan jauh-jauh dari saya, ya? Kalaupun saya sedang ada kepentingan, kamu duduk sama papa atau Kak Agatha saja."
"Bukannya saya harus mendekatkan diri sama keluarga Pak Madha malam ini, ya?"
"Tidak perlu. Kamu cukup berkenalan dengan mereka saja, tidak lebih."
"Kok, begitu?"
"Nanti saya jelaskan. Untuk sekarang, kita ke depan saja dulu. Pasti sudah ditunggu."
Kendatipun tidak puas karena rasa penasarannya belum tuntas, Flora tetap mengikuti langkah Madhava. Ia sempat menatap telapak tangannya yang digenggam lelaki itu. Rasanya nyaman, seakan tangan Madhava memang diciptakan untuk Flora seorang.
Siang tadi, Madhava, Flora, dan kedua orang tuanya meluncur ke Senayan, ke rumah orang tua Madhava. Malam ini akan dilaksanakan pengajian untuk memperingati meninggalnya Bu Lydia yang ke 40 hari. Malam ini juga Flora akan bertemu dengan keluarga besar Basunjaya, diperkenalkan sebagai istri Madhava. Walaupun didampingi oleh orang tua, Flora tetap merasa tegang dan takut melakukan sebuah kesalahan.
Acara pengajian berlangsung dengan khidmat. Walaupun sempat diiringi air mata-tak bisa menahan kerinduan akan sosok Bu Lydia-tetapi semuanya berlangsung dengan lancar sampai akhir. Flora juga sudah berkenalan dengan satu per satu kekuarga Madhava, termasuk kakeknya, Atharis Basunjaya. Meskipun beliau merupakan sosok yang paling berwibawa, tetapi sosok Bu Yessi-lah yang membuat Flora kikuk, adik papa mertuanya.
"Kalian beneran gak pacaran? Bener-bener nikah karena permintaan Mbak Lydia?" tanya Bu Yessi, setelah menelan capcay.
"Iya, Tante." Flora sampai batal memasukkan cheese cake ke mulutnya demi menjawab pertanyaan itu.
Meskipun sudah dijawab dengan jelas, Bu Yessi masih saja menatap Flora penuh curiga. "Terus, denger-denger kamu ini mahasiswa di Adiwidya. Ambil jurusan apa?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Emergency Wedding [Terbit]
Dragoste"Gue sumpahin tuh dosen dapet istri kayak setan! Biar tahu rasa!" Percayalah, Flora sama sekali tidak bermaksud mengutuk Madhava, dosen galak yang sangat menyebalkan. Ia berkata demikian hanya untuk meluapkan kekesalan karena tidak diizinkan masuk k...