"Bundaaa ...."
Bu Arin langsung berbalik ketika mendengar suara manja itu. "Lho, kenapa malah kemari? Sana, masuk kamar kamu."
"Gak mau, ah. Aku mau tidur sama Bunda aja," tolak Flora seraya mendudukkan diri di tepi ranjang.
Lantas Bu Arin geleng-geleng kepala mendengar penuturan putri semata wayangnya itu. "Kamu udah lupa kamu udah punya suami, kan, Flo? Masa iya Nak Madha mau dibiarin tidur sendirian, sementara kamu tidur sama bunda?"
"Pak Madha biar tidur sama ayah aja, Bun. Kayaknya ada banyak hal yang mau mereka bicarakan. Nah, aku tidur sama bunda. Kangen tahu, udah dua minggu gak ketemu."
"Hus! Sembarangan! Nak Madha gak boleh tidur sama ayah, pamali!" Sergah Bu Arin seketika. "Lagian, kan, dari tadi kamu nempel mulu sama bunda, sampai anggurin Nak Madha. Tiap hari juga kita video call, kan, jadi gak perlu tidur bareng segala. Tidur sama suami masing-masing aja."
Bibir Flora mengerucut. "Bunda udah gak sayang sama aku!"
Akhirnya, Flora bisa berkunjung ke rumah orang tuanya setelah dua minggu tinggal bersama Madhava. Mereka tidak bisa menginap minggu lalu karena Bu Arin ikut serta dalam agenda pekerjaan Pak Ikram di Bogor. Walaupun setiap hari melakukan panggilan video-untuk sekadar memberi laporan apa saja yang Flora lakukan seharian-kerinduan tetaplah menggunung.
Namun, bukan itu yang menjadi alasan Flora bersikukuh untuk tidur bersama sang bunda. Ia tidak sanggup jika harus tidur satu kamar dengan Madhava!
Baiklah, Flora akui bahwa ia mulai terbiasa dengan kehadiran Madhava dalam hidupnya. Melihat Madhava berolahraga setiap pagi, menyetir mobil menuju kampus, mencuci piring setiap sore, sampai menyantap makanan tepat di depan wajah yang Flora terima sebagai bagian dari hidupnya. Namun, itu bukan berarti Flora tidak akan merasa kikuk jika terjebak satu ruangan kecil dengan Madhava. Apalagi jika harus tidur satu ranjang.
"Kenapa masih di sini, Flo? Suami kamu udah ke kamar. Susulin, sana," interupsi Pak Ikram yang baru saja masuk.
"Aku mau tidur sama Bunda aja, deh, Yah. Kangen banget, nih ...." Flora masih berusaha memperjuangkan haknya sebagai anak.
"Ayah juga kangen banget sama kamu, Sayang. Tapi kasihan Nak Madha kalau harus tidur sendiri, dong. Nanti dia merasa diasingkan di rumah ini."
"Tuh, Ayah juga gak setuju kamu tidur di sini. Sana, ke kamar sendiri. Tidur sama suami sendiri!" usir Bu Arin seraya mendorong tubuh putrinya.
"Ih, Bunda ...." Flora masih saja merengek.
Bu Arin menggeleng mantap, tidak menerima bujukan putrinya yang berupa wajah memelas. "Kalau kamu tidur sama bunda dan Ayah, kapan bisa kasih cucunya?"
Wajah Flora memanas seketika. Ada yang menggelitik dalam dada. Ia merasa malu tanpa alasan yang jelas. Dengan sekali entakan, Flora pun bangkit dari ranjang dan berlenggang dengan wajah memerah.
"Bunda kenapa bahas cucu segala, sih? Flora masih terlalu kecil untuk punya anak, terlalu riskan," ucap Pak Ikram setelah pintu kamar tertutup.
"Tapi kehadiran anak bisa membuat hubungan mereka jadi lebih baik, Yah. Flora juga pasti bisa lebih dewasa nantinya."
"Anak kita masih kuliah, Bun."
"Tapi kalau Yang Di Atas udah mau ngasih, kita mau gimana? Ditawar gitu, ngasih cucunya diundur aja? Kan, gak mungkin," timpal Bu Arin lagi. "Kita doakan saja yang terbaik untuk Flora dan Nak Madha, Yah. Semoga mereka bisa cepat saling jatuh cinta. Bunda udah greget banget sama interaksi canggung mereka."
Flora mendengkus mendengar penuturan sang bunda. Ia pun melanjutkan langkah menuju kamarnya yang ada di lantai atas. Setiap pijakan di tangga, Flora ambil seraya memanjatkan doa, berharap Madhava sudah terlelap di kamar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Emergency Wedding [Terbit]
Romantizm"Gue sumpahin tuh dosen dapet istri kayak setan! Biar tahu rasa!" Percayalah, Flora sama sekali tidak bermaksud mengutuk Madhava, dosen galak yang sangat menyebalkan. Ia berkata demikian hanya untuk meluapkan kekesalan karena tidak diizinkan masuk k...