Titik-titik jatuh, lembut mengalir. Hujan menyentuh bumi dengan cinta, menyuburkan harapan, menghapus nestapa. Di pelukan rintik hati terpangku lembut hujan mengalun menyirami jiwa yang haus membawa kedamaian, membasuh ragu yang tersisa.
Malam tiba, Nathan sudah berada di kamarnya bersiap untuk istirahat setelah selesai membersihkan badan. Menatap dari jendela penginapan melihat hujan yang cukup deras malam itu, pandangannya terbatas karena gelap hanya lampu-lampu rumah di sekitar penginapan yang bisa ia lihat. Nathan akhirnya tertidur setelah cukup lama memandangi foto mantan istrinya.
Benar kata Andy, udara di Saranggakara begitu menusuk. Selimut tebal yang menutupi tubuhnya tak mampu menghangatkan badannya dengan sempurna, kakinya terasa beku padahal ia menggunakan kaos kaki, jemarinya yang ia apit dengan paha juga dingin, Nathan terbangun dari tidurnya ketika ia melihat jam di dinding waktu sudah menunjukan pukul enam pagi.
"Astaga, aku tidak menyangka kalau akan sedingin ini. Aku akan mati kedinginan disini, kenapa tidak ada penghangat ruangan!" Nathan terlihat kesal, penginapan murah dengan harga seratus lima puluh ribu semalam, seharusnya dia tidak berharap lebih. Tidak ada pilihan lain, karena desa Saranggakara masih cukup asing untuk mereka.
Karena hujan semalaman, matahari tidak begitu menunjukan eksistensi nya pagi ini awan mendung lebih mendominasi. Rasa lapar karena kedinginan mulai menyerangnya, Nathan berniat untuk pergi keluar mencari sarapan dan berjalan-jalan sebentar. Dia akan sering berkunjung kesini jika proyeknya nanti sudah di setujui, maka dari itu ia harus beradaptasi terlebih dahulu dengan desa Saranggakara. Dia pergi setelah mengirimkan pesan singkat ke Andy agar sekretarisnya itu tidak bingung mencarinya nanti. Tak lupa ia memakai jaket tebal.
Sepanjang kakinya melangkah, begitu banyak pemandangan yang membuatnya takjub. Bukan hanya itu, warga yang berpapasan dengannya menyapanya dengan sebuah senyuman yang tulus. Namun ada yang membuatnya keheranan saat melihat di setiap halaman depan rumah warga berjejer ember yang menampung air hujan. Mustahil jika desa se sejuk Saranggakara tidak memiliki mata air.
Jalanan masih terlalu sepi, hanya satu dua kendaraan yang melintas. Dia dengan mudah menyebrang ke sebuah warung yang sudah buka, hendak memesan kopi dan makanan ringan.
Seorang wanita sibuk dengan adonan bakwan di dalam wadah, sambil tersenyum kepalanya terangkat ke atas, betapa tingginya tubuh sosok pria di hadapannya, boleh jadi di usianya yang hampir setengah abad, dia baru pertama kali bertemu lelaki tampan dengan penampilan yang gagah dan berpostur sempurna, jika sehari-hari pelanggan warungnya hanyalah orang-orang yang hendak berangkat ke kebun, kedatangan Nathan ke warungnya seolah sedang di kunjungi manusia dari belahan dunia lain. Penampilannya cukup kontras dengan sekitar, maka wanita itu dapat menyimpulkan kalau lelaki tampan di hadapannya adalah pendatang baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Were Once Together
RomanceLauren Arutala memilih menceraikan suaminya, Nathan Pramudya dan merahasiakan kehamilan keduanya. Hal ini dia lakukan setelah tahu, kalau Nathan suaminya yang sudah menyuruh dokter untuk menggugurkan kandungan pertamanya. Laurent tidak tahu apa moti...