07

583 49 5
                                    

Lauren membantu Isaac merapikan baju-baju nya ke dalam koper, ini adalah hari terakhir dia berada di Saranggakara, besok dia harus kembali ke London untuk bekerja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lauren membantu Isaac merapikan baju-baju nya ke dalam koper, ini adalah hari terakhir dia berada di Saranggakara, besok dia harus kembali ke London untuk bekerja. 

"Aku nggak bisa sering pulang dalam setahun juga belum tentu bisa jenguk kalian." 

"Jangan khawatir sama kami, aku bisa jaga diriku sama Abam." Wanita itu selesai membantu Isaac mengemas pakaian.

"Kalau mau ke London bilang aja, biar Kakak pesenin tiketnya. Kalau ada waktu jenguk Kakak ya?" Isaac melirik keponakannya, dia akan kehilangan banyak momen dalam pertumbuhan Abraham, boleh jadi saat dia ada kesempatan untuk kembali ke Indonesia keponakannya itu sudah pandai berbicara.

Lauren mengangguk, "Pasti." Dia menaikan sedikit selimut yang menutupi tubuh bayinya, "Ada Abam, dia juga pasti cepet tumbuh besar, nggak bakal kerasa waktunya."

Isaac tersenyum tipis, "Lauren, kalau nanti ada hal buruk, kamu ketemu sama Nathan tolong kamu bilang Abraham itu anak kita." Setiap mengucapkan nama Nathan, ada semburat cahaya penuh benci di manik mata Isaac. "Meskipun dia anak kandung Nathan, aku tidak sudi Nathan tahu kalau dia punya keturunan, manusia seperti dia sudah sepantasnya menderita."

Lauren mengangkat kedua alisnya, terkejut dia tak langsung menjawab sampai Isaac kembali berbicara.

"Dengan status kita yang bukan saudara kandung, Nathan pasti akan mempercayainya."

"Sepertinya rasa benci Kakak lebih besar kepada Nathan dibandingkan denganku."

Isaac mengangguk, "Ya, dia sudah menyakiti adikku, tidak mau keponakanku. Jadi jangan sampai kamu mau kembali kepadanya, jika kamu kembali memiliki perasaan kepadanya, kamu harus ingat saat dia menyakitimu."

"Kak Isa–" Belum selesai Lauren berbicara, Kakaknya itu memotong.

"Turuti kemauanku."

We Were Once Together

"Bapak yakin mau beli rumahnya? Ukurannya kecil, tapi harganya sampai dua milyar, nggak masuk akal. Apa Bapak nggak coba pikirkan lagi?" Andy kembali menatap lurus jalanan dan fokus menyetir. 

Di samping Andy, Nathan terlihat sedang memijat kening. Uang sebanyak itu tidak ada artinya untuk Nathan. Dia menyukainya maka dia harus memilikinya.

"Kamu tidak punya hak untuk mengaturku."

Jawaban Nathan membuat Andy langsung bungkam, sorot matanya yang tajam menandakan kalau dirinya sudah terlalu jauh mengatur kehidupan pribadi atasannya.

"Maaf Pak, saya tidak bermaksud ikut campur."

"Saya akan kembali ke Saranggakara besok, kamu tidak perlu ikut. Gantikan saya di rapat yang sudah ada di jadwal."

"Baik Pak."

Mereka berdua kembali ke Jakarta sore itu, Nathan ingin segera membatalkan kerja samanya dengan perusahaan Yumiko. Setelah melihat sendiri dan mendengar keluhan masyarakat pada Pak Hamid dia menjadi merasa bersalah. Nathan tidak bisa menyangkal kalau dulu perusahaan yang kini ia pimpin memiliki peran besar dalam huru-hara yang terjadi di Saranggakara. 

We Were Once TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang