Dalam perjalanan pulang ke rumah, Lauren memperhatikan Abraham yang hanya diam sepanjang jalan. Biasanya putranya akan membicarakan banyak hal, apapun yang menurutnya menarik. Abraham larut dalam pikirannya, kecewa kepada seseorang yang sudah ia ketahui siapa jati dirinya.
"Ada yang jahil lagi sama kamu?" Lauren akhirnya bertanya.
Abraham menggeleng sebagai jawaban.
Wanita itu dan putranya masuk ke halaman rumah, sepucuk surat yang ditempel menggunakan selotip di depan pintu diraihnya dengan satu tangan, satu tangannya lagi membuka kunci.
Tidak ada nama si pengirim atau tanda pos, itu artinya surat tersebut langsung dikirim oleh si pengirim yang entah siapa. Lauren menyimpannya dulu di dalam tas dan akan membacanya nanti setelah urusan rumah selesai.
"Mau makan malam apa sayang?" Lauren masuk ke kamar Abraham.
"Apa aja Mi." jawab Abraham singkat.
Lauren diam sejenak sambil memikirkan apa yang sudah terjadi pada putranya, "Mau puding?"
Abraham menggeleng, sibuk dengan mainan robot. Lauren mengembuskan napas, kebingungan setelah kejadian malam itu Abraham menjadi semakin diam.
Malam harinya, setelah semua pekerjaan rumah selesai, Lauren yang sedang mengeringkan rambut di kamar di hampiri oleh Abraham.
"Mami ada buku pelajaran punya Abam yang ketinggalan di rumah Om, besok harus dibawa ke sekolah." Abraham panik, menggoyang-goyangkan lengan ibunya.
"Kamu gimana sih, Nak. Kok bisa bukunya di rumah orang lain." Lauren mematikan hair dryer.
Abraham menarik-narik baju tidur ibunya, "Mi ayo kita ambil! Abam belum kerjain PR nya, ayo Mi!!" Dia mulai merengek.
"Iya sayang sebentar ya." Lauren menenangkan putranya agar bersabar dan menunggu untuk siap-siap.
Abraham berlari ke kamarnya dan memakai jaket, cekikikan ini adalah rencananya. Dia akan mempertemukan Lauren dengan Nathan, tanpa pernah memikirkan hal buruk apa yang akan terjadi, yang ada di benaknya kini, orang tuanya baikan, bersalaman serta mereka akan satu rumah lagi, se simple itu pikirannya.
Lima menit kemudian, Lauren dan Abraham menyusuri jalanan yang cukup gelap dan lampu penerangan hanya mengandalkan dari rumah-rumah warga di sekitar jalanan. Abraham berubah menjadi semangat sambil mengayunkan tangannya yang di genggam oleh Lauren, ia tak sabar ingin segera sampai.
"Om nya udah tidur mungkin Nak, besok pagi aja gimana?" Mereka berdua sudah berada di depan gerbang rumah Nathan.
"Nggak Mi, Om pasti belum tidur, ayo!" Abraham semangat, gerbang belum di kunci dan mereka bisa masuk dengan mudah menuju teras rumah.
"Ketuk pintu nya Mi," pinta Abraham.
Ragu-ragu, Lauren akhirnya mengetuk pintu.
TOK!! TOK!! TOK!!
KAMU SEDANG MEMBACA
We Were Once Together
RomanceLauren Arutala memilih menceraikan suaminya, Nathan Pramudya dan merahasiakan kehamilan keduanya. Hal ini dia lakukan setelah tahu, kalau Nathan suaminya yang sudah menyuruh dokter untuk menggugurkan kandungan pertamanya. Laurent tidak tahu apa moti...