Epilog

650 44 9
                                    

Nathan mengemudikan mobilnya secara ugal-ugalan di jalanan yang padat sore itu, setiap tiga menit sekali matanya melirik jam yang melingkar di tangannya, hari ini sangat penting sederet pertemuan dan juga rapat menahannya sampai dia beranggapan ka...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nathan mengemudikan mobilnya secara ugal-ugalan di jalanan yang padat sore itu, setiap tiga menit sekali matanya melirik jam yang melingkar di tangannya, hari ini sangat penting sederet pertemuan dan juga rapat menahannya sampai dia beranggapan kalau hari ini akan terlambat.

Di kursi samping terdapat kado ulang tahun. Ya, hari ini putranya merayakan ulang tahun ke sepuluh. Nathan sudah berjanji tidak akan terlambat, ponselnya terus berdering dari tadi, itu dari istrinya.

"Lima menit lagi sayang, tunggu." Nathan menjawab telepon tersebut tanpa mengangkatnya.

Nathan memarkirkan mobilnya secara asal-asalan di halaman rumah, dia berlari namun seketika menepuk jidatnya sendiri, dia melupakan kado yang masih duduk rapi di kursi mobilnya. Dia berjalan gusar kembali ke mobil.

Dengan langkah yang lebar, Nathan mulai masuk ke dalam rumahnya. Abraham bangkit dari kursi berseru bahagia menunjuk ke arahnya.

"Itu Papi!"

Orang-orang yang sudah berkumpul di ruang tamu kompak menatapnya, bernapas lega dan menyuruh Nathan untuk segera bergabung.

"Sekarang alasannya apa, macet?" Haris menyindir halus.

Nathan mengusap tengkuknya malu, "Harap dimaklumi, ini Jakarta bukan Saranggakara."

Lelaki itu melangkah mendekat ke istri dan putranya, tanpa membuang waktu lagi, alunan nyanyian selamat ulang tahun mulai di lantunkan mereka sambil bertepuk tangan.

Tiup lilinnya sekarang juga

Sekarang juga

Sekarang juga...

Abraham meniup lilinnya penuh semangat, di bantu Nathan dan Lauren ia memotong kue pertamanya lantas saat orang-orang menyuruhnya untuk memberikan kue itu ke seseorang yang paling spesial, Abraham cukup lama berpikir.

"Buat Mami aja deh," ucapnya malu-malu setelah berpikir bahwa ibunya lebih pantas mendapatkannya.

Lauren menerimanya sambil tersenyum, "Makasih sayang."

Untuk potongan yang ke dua, Abraham memberikannya kepada ayahnya.

Abraham bersama teman-teman satu kelasnya juga saudara-saudara seusianya berkumpul dan membuka kado pemberian dari orang-orang terdekatnya. Lauren duduk sendirian di sofa sambil menunggu suaminya mengambilkan minuman.

"Kali ini aku nggak telat kan?" Nathan duduk di sampingnya dan menyimpan dua gelas minuman dingin di atas meja, satu tangannya terangkat ke belakang lalu merangkul pundak istrinya.

"Kalau sampai telat kayak pas ulang tahun Mama, nggak tau lagi deh." Lauren meraih minumannya.

"Sorry." Nathan tertawa kecil.

"Udah boleh kunci pintu kamar gak kalau sekarang?" tanya Nathan.

Alis Lauren terangkat sebelah tak mengerti, "Maksud kamu, Mas?"

Nathan tidak lansung menjawab, dia malah menipiskan bibirnya, "Walau kita kunci pintu kamar, tengah malem pasti ada tamu nggak di undang. Tapi sekarang tamunya udah umur sepuluh tahun, seharusnya sih udah nggak minta tidur sama kita lagi ya."

Lauren tergelak mengingat sesuatu, beberapa kali aksi mereka terpaksa terhenti di tengah jalan sebab putra mereka merengek dan minta masuk untuk tidur bersama dengan alasan takut hantu.

"Aku harap Abam nepatin janjinya," ucap Lauren.

Malam semakin larut dan tamu mulai meninggalkan rumah mereka, yang terakhir pergi adalah Calista, Haris juga Isaac. Rumah kembali sepi tersisa mereka bertiga.

Nathan membantu Abraham membereskan kado-kadonya ke kamar, menatanya di sudut dengan rapi. Sementara Lauren sedang mengganti pakaiannya.

"Nak, kamu udah janji kan sekarang bakal tidur sendiri dan nggak pindah ke kamar Mami sama Papi."

"Janji," jawab Abraham cepat sambil menyimpan mainan mobil remot pemberian dari Isaac.

"Bener?"

"Emang kenapa Pi?"

Nathan menggeleng cepat, "Abam kan udah gede, malu dong sama cewek yang tadi kalau kamu masih tidur sama Mami Papi."

Pipi Abraham merona, dia sama sekali tidak mengerti dengan yang namanya cinta, dia hanya menyukai teman sekelasnya itu tanpa pernah tahu perasaan apa yang sedang dia alami.

"Ih!" Abraham cemberut.

Nathan terkekeh, Lauren masuk bergabung dengan mereka berdua.

"Kenapa?" kata perempuan itu.

"Papi, nyebelin!"

"Nyebelin kenapa sayang?"

"Masa Abam nggak boleh tidur sama kalian lagi!"

Lauren langsung menatap suaminya yang pura-pura sibuk menata mainan dengan salah tingkah.

"Bukan gitu sayang, Mami, Papi nggak pernah keberatan kalau kamu mau tidur di kamar kita, tapi," Lauren menatap sekilas suaminya, Nathan mengangguk agar istrinya melanjutkan ucapannya, "Kalau kamu tiba-tiba ngetuk pintu kamar kita malem-malem, Papi nanti tidurnya keganggu. Nanti Papi malah nggak bisa tidur terus kesiangan deh kerjanya."

Nathan tersenyum lebar melihat Abraham yang sepertinya mengerti.

"Gitu ya Mi?"

"Iya sayang." Lauren mencubit pipi putranya.

"Kalau begitu, pintunya jangan di kunci biar Abam bisa masuk tanpa bangunin kalian berdua!" Abraham berseru, merasa idenya sangat cemerlang.

Nathan dan Lauren sama-sama menghela napas lantas menggeleng.

"Abam mau nginep di rumah Kakek sama Nenek gak?" tanya Nathan.

Lauren seketika tertawa sambil menutup mulutnya, rupanya Nathan tak menyerah agar kegiatan mereka tidak ada yang mengganggu.

-SELESAI-

We Were Once TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang