17

678 60 3
                                    

Di sudut sepi, dua hati termangu dalam keheningan yang pernah terjalin, retak perlahan, kenangan mengalir seperti sungai yang tak terbendung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di sudut sepi, dua hati termangu dalam keheningan yang pernah terjalin, retak perlahan, kenangan mengalir seperti sungai yang tak terbendung. Merangkul rindu yang terjalin dalam diam. Pernah berpisah, meski hati tak ingin, cinta bersembunyi di balik tatapan hampa. Bibir bungkam, namun jiwa berbicara yang tak pernah usai. Cinta mereka, bagai daun jatuh di musim gugur, terpisah oleh angin terhempas jauh namun akar yang tertanam kuat, tetap menumbuhkan tunas harapan.

Jejak langkah yang pernah hilang, memulihkan luka dengan sentuhan lembut, menjahit kembali kisah yang bersatu dalam kerinduan yang sama, berharap membangun cinta yang tak retak dalam dekapan yang penuh makna.

Mengapa harus berpisah jika hati masih merindu? Dalam setiap hela napas, ada bisik nama, menari di ujung lidah terucap tanpa suara namun terasa begitu hangat di hati, menyelimuti jiwa.

Langit mungkin gelap, awan bisa menutupi bintang, namun cinta kita tetap jalan menembus gelap menerangi jalan menuju tempat dimana hati bersatu kembali di balik rindu.

Ada sebuah janji yang terucap diam-diam, bahwa takdir ingin kita kembali, walau harus melewati badai, mengarungi lautan perasaan untuk pulang ke pelabuhan tempat dua jiwa itu bertemu dan saling jatuh cinta.

Tidak ada aktivitas yang mengawali kegiatan duduk mereka di sofa, berdampingan, saling diam, tak berjarak.

Hati dua orang yang pernah bersama dalam waktu singkat itu terasa damai, menatap putra satu-satunya di keluarga tak utuh mereka, sibuk dengan sebuah mainan yang dinilai anak itu begitu berharga.

Lauren dan Nathan saling menatap canggung. Teringat memori pertikaian yang masih hangat di sofa yang sama kemarin malam.

"Kamu mau pulang jam berapa? Aku sama Abam mau pergi." Akhirnya Lauren mengalah dan bertanya lebih dulu.

"Mau kemana semalam ini?" Nathan penasaran.

"Pasar malam, aku udah janji ajak Abam kesana dan lupa kalau hari ini terakhir."

"Saya ikut."

Lauren menatapnya namun diam.

"Boleh?" Nathan bertanya lagi, "Bahaya kalau kalian cuma pergi berdua."

"Aku tinggal disini bertahun-tahun Nathan, aku lebih tahu." Lauren menolak, "Abam siap-siap kita pergi sekarang."

"Kalau nggak sama Papi, nggak usah jadi aja Mi." Rupanya Abraham mendengar percakapan orangtuanya.

Lauren menggelengkan kepala seraya menghela napas, teringat dengan kata-kata Nathan jika dia ada hanya untuk Abraham, "Oke..." Perempuan itu pergi ke kamar untuk siap-siap.

Nathan tersenyum, mengacak-acak rambut putranya dengan gemas, "Makasih Nak."

We Were Once Together

Belum terlalu malam, mereka bertiga berjalan bersama. Abraham memegang erat tangan kedua orangtuanya dengan bahagia. Abraham yang selama ini hanya merasakan kasih sayang dari ibunya saja akhirnya ia bisa merasakan momen istimewa. Meskipun banyak hal yang sebenarnya tidak ia mengerti dan orangtuanya terlihat mengabaikan satu sama lain, dia sangat bahagia.

We Were Once TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang