Possesif (boy)friend

6.1K 191 10
                                    

Hai hai haiii!

Tata comeback dengan segala keimoetan tiada tara ini, hewhwe...

Tata dikasih pulang cepat, makanya bisa up malam ini. Doain aja bebeb sekalian, semoga bigboss sering-sering ngasih pulang cepat tanpa mengurangi gaji biar Tata bisa up lebih dari dari biasanya(:

Happy Reading Guys!!


Darren menarik kasar lengan Rena tak memperdulikan raut kesakitan si perempuan. Urat sekitar leher menonjol menandakan amarah tertahan. Sampai di dalam ruang tersembunyi dalam perpustakaan, Darren mendorong Rena ke dinding membuat punggung Rena serasa remuk.

"Akh!"

"Udah puas godain cowok-cowok di sana, ha?!"

Bibir Rena bergetar. Menelan semua rasa sakit di punggung dan hati mendengar ucapan kasar. Darren, pemuda itu membentaknya lagi dan lagi.

"Aku gak godain Fariz!"

Pancaran amarah semakin besar saat Rena mengelak. Darren mencekik leher Rena hingga nafasnya mulai terputus-putus.

"Jadi yang balas gombalan Bajingan itu apa kalau bukan ngegodain Anjing?!"

"Uhk le-pas..."

"Jawab gue Rena?!" bentak Darren semakin mengencangkan jeratan tangan. Rena memukul-mukul lengan Darren berusaha membuat pemuda itu melepaskannya. Wajahnya memucat dengan pupil mata kian memutih.

"Uhuk erghh... S-sak-it... Uhuk."

Dirasa hampir mencapai batas, Darren meregangkan cekikan namun tak sampai melepas tangan. Rena terbatuk hebat merasakan tenggorokannya serasa mau hancur.

"Lo suka godain mereka, ha?! Mau jadi lonte lo, Anjing?!"

Sakit hatinya terus bertambah. Rena menangis tanpa suara mendengar itu. Nada merendahkan Darren berhasil memukulnya lagi dan lagi. Apa sebenarnya salahnya?

Rena mendongak menatap manik tajam Darren. "Kalo iya kenapa ha?!" Rena membentak dengan sisa suara di tenggorokan. "Kamu itu cuma teman aku Darren! Mau aku jadi lonte itu terserah aku! Kamu gak berhak mengatur hidup aku Darren!!"

Rena tak peduli pekikan seraknya terdengar orang lain. Ia lelah atas tuduhan berujung penghinaan dari Darren. Tangan Darren berpindah ke sisi kepala Rena, mengurung perempuan itu.

"Gak berhak ya..." Suara rendah itu menggetarkan tubuh Rena. "Apa pernyataan gue kemarin gak lo dengar, Rena. Semua bersangkutan sama lo itu milik gue! Gue berhak mengatur lo mau lo suka atau nggak!"

Tangisan Rena tak membuat Darren iba, sebaliknya. Darren menyukai segala ketakutan Rena padanya.

"Lo mau jadi lonte kan? Oke gue kabulkan sekarang."

Kilat seringai Darren terlihat jelas. Rena menggeleng kuat saat tangan disisi kepala kini memeluknya erat. Bukan jenis pelukan pada umumnya, namun itu adalah remasan kuat pada punggung dan pinggulnya.

"Telanjangin lo disini gak buruk." Setelahnya, Tangan Darren mencari pengait rok di belakang lalu menarik resleting hingga terturun ke lantai. Rena menangis ketakutan tanpa suara. Bagaimana jika ada yang melihat?!

"Jangan gini... Darren."

Suara serak putus asa Rena terdengar memilukan. Darren mengulum telinga Rena sebelum mengecup dan menjilati sisi leher bekas cekikan tadi. Kedua tangannya menahan tangan Rena yang ingin memukul. Mata berkaca Rena menatap benci Darren yang merendahkan dirinya.

"Nangis aja atau mau teriak? Emang lo mau kita digerebek orang? Gue, gue gak masalah tapi lo—lo yang bakal dihujat orang. Gue penasaran gimana reaksi orang pas liat murid pintar di kelas ini telanjang di pelukan anak donatur. Jijik mungkin ya? Murid kesayangan guru melakukan hal tidak senonoh di perpustakaan."

Sebelah kaki Darren menahan dinding diantara kaki Rena membuat perempuan itu mengangkang. Sudut bibirnya naik, menciptakan kebencian kian terlukis di wajah Rena.

"Apa mau kamu sebenarnya?!"

"Lo." Manik berkilat Darren menembus kilau bening Rena. "Gue mau lo jadi milik gue, Rena."

"A-aku gak bisa. Aku—"

"Cinta sama Fariz? Itukan yang mau lo bilang?!"

Suasana sekitar kian panas. Rena menggeliat kala lutut Darren naik menggosok kasar pertengahan kaki tertutupi hotpants. Gelengan kencangnya tak memberhentikan kegiatan Darren. Malah ia menyatukan tangan Rena di atas kepala dan satu tangannya beranjak membuka dua kancing seragam Rena.

"Berhenti... Jangan..."

"Apa bagusnya dia? Gue yang kenal lo dulu. Gue yang selalu ada buat lo. Gue yang mendukung semua kegiatan lo. Dan lo malah cinta bajingan yang cuma tau ngerangkai kata manis itu?! Dimana pikiran pintar lo itu Rena?!"

Rena menangis tergugu. Seluruh ucapan Darren terulang di kepala. Memang Darren yang selalu ada buatnya, Darren yang mengerti dirinya, tapi kehendak hatinya bukan menginginkan Darren. Rena terlanjur memiliki seseorang di hatinya. Darren hanyalah temannya, dan selalu menjadi temannya.

Satu air mata meluncur bebas di pipi Darren. Dengan cepat ia memajukan wajahnya melewati pipi Rena dan menghapus cepat agar tak terlihat oleh Rena. Getaran tubuh Rena membuatnya merenung. Satu tangan didepan dada Rena mengepal dengan wajah emosi berubah senyum getir.

"Apa lo gak bisa anggap gue lebih dari teman? Gue—gue hampir gila rasanya mau lo, Ren."

Tak ada sahutan. Derren lagi-lagi tersenyum getir. Keinginan kuat agar Rena tetap di sampingnya kini sirna. Perlahan ia memasang kancing baju Rena.

"Lo takut ya? Maaf gue kelepasan."

Rena terkesiap kala Darren berlutut menaikkan rok yang terjatuh. Air mata kembali tergenang melihat tangan Darren menarik risleting belakang.

"Lo mau kita cuma teman kan?"

Tatapan sendu Darren kenapa bisa membuat Rena tak berdaya?!!

"Oke! Tapi sebagai teman gue punya satu keinginan. Setelah ini kita jangan saling tegur dulu, ya? Gue mau ngendaliin diri gue. Gue gak mau perasaan gila gue ini semakin buat lo benci sama gue. Gue gak siap dibenci... Lo."

Entah kenapa Rena ikut sesak mendengarnya. Darren, sejahat-jahatnya ucapannya, pemuda itulah yang selalu di sampingnya, menenangkannya, memberikan perhatian. Bagaimanapun perilakunya, Rena tak bisa membenci. Meski wajahnya membenci, namun jauh di lubuk hatinya Rena tak pernah benar-benar bisa membenci Darren.

"Maaf buat kata-kata kasar gue beberapa hari ini, maaf buat lo ketakutan, maaf bikin lo kesakitan. Gue minta maaf, Rena."

"Hidup lo pasti bakal tenang gak ada gue. Gue nanti bakal bilang sama Fariz—lo juga suka sama dia. Gue pergi dulu, Na. Gue bakal dekat sama lo lagi kok, kalo gue udah bisa nerima semuanya."

Ingin sekali Rena menghentikan Darren tapi lagi-lagi ia hanya terdiam. Saat punggung pemuda itu berbalik lesu meninggalkannya, Rena meluruh di dinding perpustakaan sembari berbisik pilu.

"Darren..."


***

T

BC...

Hampir 1k kata. Gapapa pendek ya...

Tata agak bingung. Mau dibuat happy, sad or gantung?

Pengennya dapat akhir yang bahagia, but Tata juga kangen hujatan berujung tangisan kalian... Gimana dong?

Tertanda,
Suami ibumu adalah pacarku

Park Tata🐊🐍

Short story 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang