Up lagiii!
Tak terasa sudah sebulan semenjak kejadian tersebut. Selama itu, berbagai tempat telah mereka datangi dengan kata 'kencan'. Gedung tua, Bukit, Gunung, dan berbagai tempat ekstrim lainnya. Namun yang sering mereka datangi pasti adalah rumah Alex tinggal.
Seiring berjalannya waktu, ketakutan Andra pada Alina juga berkurang. Bahkan, ia seringkali berpikir tempat kencan mana lagi yang akan mereka datangi. Walaupun pada akhirnya Andra akan mulas dan lebih parah nya berakhir pingsan, ia tetap menikmati kencan.
"Senyum-senyum mulu lo. Awas kesambet." Aryan mendudukkan diri disamping Andra, menarik nasi goreng didepan Andra.
"Nih nasi malah dimainin. Sini biar gue makan. Sayang tau cuma diaduk-aduk." Setelahnya Aryan menyuap nasi goreng tak mempedulikan wajah keruh Andra.
"Ck, beli lah sana! Gue belum makan."
Aryan menghalangi tangan Andra. Ia merogoh saku dan memberikan sepuluh ribu pada Andra. "Nih, gue bayar."
"Kurang lima ribu," protes Andra dibalas picingan mata Aryan. "Perhitungan amat lo ama sohib lo ini. Dah, gue cuma punya itu."
Dengusan kasar keluar. Andra menatap sekeliling kantin. Hanya beberapa orang mengisi meja termasuk mereka. "Tumben sepi, lo tau kenapa?"
Masih mengunyah, Aryan berbicara. "Lo gak tau? Gue denger dari anak tadi Alina lagi ngejotos Cello. Mending lo samperin sana. Takut nanti si Cello bonyok."
Andra mengatup bibir. Tanpa basa-basi lagi Andra berlari mencari Alina. Suasana koridor Kampus sepi. Mungkin sebagian Mahasiswa tengah menyaksikan aksi putri Tae Kwon Do.
Benar saja, Andra melihat kerumunan dihalaman Kampus. Ia semakin mempercepat lari menerobos para Mahasiswa.
Sampai di depan, tubuh Andra menggigil. Pemandangan itu sungguh mengerikan. Alina menduduki tubuh lemas Cello dengan tangan tak berhenti memukul wajah mengenaskan Cello.
"Kenapa kalian tak melerai?" Suara Andra tercekat. Salah satu Mahasiswa menyahut bergetar. "Gue gak mau bernasib kayak Cello. Tolong lo hentikan Alina, Ndra."
Mendengar itu, Andra menyeret kaki lemasnya mendekati Alina.
"Alina, berhenti."
Pukulan Alina tak berhenti. Darah dari mulut Cello muncrat membasahi tangan dan sedikit wajahnya. Andra tak bisa membiarkan ini terus terjadi atau Cello akan berakhir tragis.
"Alina."
"ALINAAA!!"
Pukulan terhenti. Wajah datar Alina menyorot pada Andra yang pucat. Percikan darah di wajah nampak berkilau tertimpa sinar matahari. Sementara Cello terbaring tak bergerak. Darah mengalir keluar dari bibir juga hidung yang nampak bengkok. Dua gigi depan patah. Pipi dan pelipis lebam keunguan. Wajahnya sungguh hancur.
Entah keberanian dari mana Andra mendorong Alina menjauh dari Cello.
"Tolong bantuin Cello! Bawa dia ke rumah sakit." Tak ada yang bergerak. Andra tersulut emosi berteriak. "APALAGI YANG KALIAN TUNGGU?! CEPAT!!"
Beberapa orang selangkah maju lalu melirik Alina. Usai menerima kedipan Alina mereka mengangkat tubuh Cello memasuki mobil dan bergerak meninggalkan Kampus.
Kerumunan segera bubar sendiri menyisakan pasangan terduduk dihalaman. Kini Andra menatap Alina. Kekecewaan terlihat jelas dimata lelaki itu. Ia mendekat pada Alina yang masih datar. "Kenapa kamu mukul Cello?"
Keheningan melanda. Andra menahan bulat-bulat emosinya. "Apa harus pakai kekerasan? Ini bisa dibicarakan baik-baik."
"Kamu gak bisa seenaknya gini. Apa yang kamu lakukan ini salah. Sangat salah, Alina. Aku... Aku kecewa sama kamu."