Annyeong haseyo chagiii😆
Mianhae ya bebepku sekalian Tata baru up malam ini. Kesibukan real life Tata itu benar-benar sibuk.
Saking sibuknya, Tata jadi kurusan woee...
Heran Tata tuh! Padahal makan kayak biasa kok bisa turun gitu. Faktor kelelahan sama sedikit gila kali ya:)Karena Tata up, jadi, ayo vote, komen dan reading list cerita Tata!!
Happy Reading!
Rena celingukan mencari sosok Darren. Buku dalam dekapan makin dipererat sembari memperhatikan sekitar. Sudah lebih seminggu semenjak pemaksaan Darren, mereka tak saling menyapa bahkan berjumpa saja bisa dihitung dengan jari. Rena sungguh merindukan adanya Darren didekatnya.
"Rena..."
Wajah Rena sumringah mendengar panggilan namanya. Membalik badan, Rena tersenyum lebar.
"Darren..." Lengkungan itu luntur, Rena kecewa sebab yang memanggilnya bukan orang yang ia inginkan. Sekian detik Rena kembali tersenyum meski tak selebar sebelumnya. "Fariz? Kenapa?"
Fariz terkekeh pelan tanpa tahu bahwa Rena menginginkan kehadiran Darren. "Mau ngajak ngedate nanti sore. Kamu free kan?"
"A-ah... Kayaknya gak bisa, Riz. A-aku harus... kerkom, iya kerkom di rumah Nelly. Maaf ya."
Rena tahu pemuda itu kecewa tapi tak diperlihatkan padanya. "Oke, nggak usah minta maaf, Na. Mau aku antar ke sana?" tawar Fariz dibalas gelengan pelan. "A-aku perginya sama em.. Marta."
Hening sejenak. Hanya suara langkah kaki serta obrolan murid lain terdengar. Rena memeluk erat buku. "Aku duluan ya. Ada tugas dari ibu Sarmila. Kamu tau sendiri kan gimana kalau udah ibu Mila yang ngasih tugas." Fariz terkekeh mengacak rambut Rena. "Oke. Bagus-bagus ngerjain tugasnya, jangan ngelamunin aku. Nanti kena masalah sama ibu Sarmila."
Memasang senyum lebar, Rena meninggalkan Fariz dibelakang. Ia tahu kenapa Fariz bersikap demikian. Pasti karena Darren telah menepati ucapannya lalu tentang perasaan Rena pada Fariz hingga ia berani bertingkah lebih dari sekedar gombalan.
Awalnya Rena senang. Namun semakin hari Rena merasa itu tak menyenangkan lagi. Rena malah merindukan Darren. Berbicara, debat, saling menyemangati satu sama lain. Rena rindu Darren.
Bisakah Darren saja yang disisinya bukan Fariz?
Dari kejauhan Rena melihat Darren berjalan santai. Pemuda itu tak sendiri, ada dua siswi dikedua sisinya tengah sibuk berdebat. Rena tahu itu siapa. Keduanya ialah pemuja Darren. Rasa sesak muncul di hati. Mungkinkah ucapan menenangkan diri Darren hanya alasan agar bisa bersama siswi lain?
Rena tak terima. Dua siswi itu begitu mudahnya menempeli Darren sementara dirinya, sekarang saja pemuda itu melewati dan tak melihat kearahnya. Ia merasa Darren tak mengenalnya lagi.
Dilanda pemikiran tersebut, Rena melangkahkan kaki mengikuti Darren dari belakang. Saat ia ingin memanggil, suara percakapan didepan masuk ke gendang telinganya.
"—sama Rena?"
"Nggak. Gue biasa aja. Lagipula Rena udah sama Fariz. Bahas mereka mulu. Gak muak lo? Gue aja mu—"
Rena tak mendengarkan lebih lanjut. Ia berhenti menatap kosong punggung Darren. Darren muak sama dirinya?
Dadanya seolah dihimpit batu besar, Rena mencengkeram erat buku dalam dekapan lalu berputar arah meninggalkan area sekolah. Matanya perih hingga cairan bening menumpuk di pelupuk bersiap tumpah. Biarkan dirinya bolos untuk sehari ini saja.